Apa moral dari cerita kehidupan ini? yang penulis ingat dan menjadi nilai yang tinggi yaitu mental petarung pantang menyerah dan itu diajarkan sejak dari rumah. Orang tua berjuang untuk bukan cuma mengajar, membangun tetapi juga menanamkan nilai sportivitas pada diri tiap anak. Dan kebetulan ayah saya seorang coach maka sportivitas itu diajarkan melalui olahraga. Apapun juga pilihanmu kamu harus cakap melakukannya, kecakapan itu membuat kamu tangguh dan unggul, tidak menyalahkan sekitar ketika kita tidak bisa atau tidak berhasil.
Jatuh bangun upaya papie untuk melatih dalam visi dan harapannya untuk mencetak seorang atlit, kandas karena pilihan yang seluas-luasnya diberikan bagi sang anak. Dititik durasi hidup penulis yang harus memilih, maka pilihan sudah di jatuhkan bukan oleh sang ayah tetapi penulis.
Bagaimana dengan pembaca sekalian dalam hidup yang bergelimang kondisi harus memilih, butuh kecakapan dalam memilih. Tetapi dalam memilihpun butuh sportivitas. Akibat pilihan itu mungkin saja melukai atau memupuskan harapan orang lain.
Dan jika pilihan telah dijatuhkan, ingatlah pesan sederhana dari timur “ seng tahu dansa jang bilang flur turung nae”. Jangan salahkan ketika kita tidak bisa/berhasil akibat pilihan itu dengan lapang dada, harus menerima.
Dengan memiliki mental petarung, butuh sportivitas terhadap pilihan yang telah dipilih. Tidak perlu menyalahkan kondisi sekeliling, perlu fokus dan berjuang meraih kemenangan atau kesuksesan sekalipun kondisi sekitar mengalami keterbatasan. Salam Terobosan.
(LL) Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H