Mohon tunggu...
Sofi Lestari
Sofi Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - This is Me!

stay alive

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habibie Sang Pengusung Kebebasan Pers Indonesia

13 September 2019   14:52 Diperbarui: 13 September 2019   15:01 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerusuhan pada Mei 1998 memaksa Soeharto untuk lengser dari kekuasaannya yang telah berdiri selama 32 tahun. Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, kemudian BJ habibie naik menggantikan Soeharto menjadi Presiden Indonesia setelah sebelumnya menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia Ke-7 pada masa Soeharto. Habibie menjabat sebagai presiden selama satu tahun lima bulan. Meski hanya sebentar, banyak hal yang dicapai Habibie pada masa jabatannya.

Salah satunya adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat. Pada masa Orde Baru, kebebasan pers sangatlah terbatas. Karena pada masa itu, stabilitas politik nasional sangatlah penting guna mendukung lancarnya proses pembangunan nasional yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam GBHN.

Dikutip dari Tempo.co , Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi  justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar  peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui ”rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha  Penerbitan Pers).

Pascareformasi,  pemerintah  mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain:  Peraturan Menteri Penerangan  Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin  Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen  Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan  dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.

Pada masa kepemimpinan Habibie, RUU Pers dicanangkan sebagai langkah awal dari kebebasan menyatakan pendapat di muka umum sekaligus sebagai langkah dari kemerdekaan pers yang selama ini dikekang. Walau menuai banyak pro dan kontra, RUU Pers akhirnya disahkan pada 23 September 1999 sebagai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan disahkannya UU tersebut, undang-undang dan peraturan sebelumnya yang mengatur pers seperti UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan UU No. 4 PNPS Tahun 1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dinyatakan tidak berlaku lagi yang tertuang dalam Pasal 20 Bab 10 UU No. 40 Tahun 1999.

Ada beberapa Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan,  fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yaitu :

Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3 ayat (1): Pers  nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Pasal 6 :  Pers nasional melaksanakan peranannya:

  1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
  2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan
  3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
  4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan
  5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Ada pun Kemerdekaan pers diatur dalam:

Pasal 4  ayat (1) :  Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,

Pasal 4 ayat (2) :  Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran

Pasal 4 ayat (3) :  Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pengesahan UU No. 40 Tahun 1999 ini dianggap sebagai kemerdekaan pers bagi para pelaku bidang jurnalistik setelah sebelumnya dikekang begitu lama pada masa Orde Baru. wartawan kini tidak perlu takut medianya di bredel oleh pemerintah, tidak takut lagi di halang-halangi dalam melakukan kegiatan pers. Hal ini jugalah yang di kemudian hari akan melahirkan banyak media-media besar baru. Baik dari tingkat daerah hingga ke tingkat nasional, bahkan menjadi media internasional.

Dalam Pasal 18 UU Pers tersebut menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Kini siapapun bisa menjadi wartawan, bisa menyatakan pendapatnya di muka umum tanpa takut dikekang. Namun, walau dikatakan bebas, jangan melanggar kode etik jurnalistik, ya.

Terimakasih kepada Bapak BJ Habibie, karena telah mengusung berdirinya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Memberikan kemerdekaan dalam menyatakan, mengemukakan, dan memberikan pernyataan untuk bebas berpendapat di muka umum.

Tanjung Redeb, 13 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun