Mohon tunggu...
L Ambar S
L Ambar S Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

S E A T

29 November 2017   17:59 Diperbarui: 29 November 2017   19:36 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini saya baru tahu bahwa sebuah universitas yang berkedudukan di Jogjakarta memiliki kebun untuk pembelajaran di daerah Lemah Ireng Kabupaten Semarang.  

Artinya sebagai orang di kabupaten ini saya tak paham akan daerahnya. Kurang piknik. Mungkin. Seperti kebanyakan orang wisata cuci mata selalu ke daerah yang notabene sebagai destinasi wisata.

Misalnya Jogjakarta dengan Malioboro sebagai daya tariknya. GNK eh Gunung Kidul dengan eksotisme pantainya. Dieng dengan kawah dan telaga warnanya.

Padahal memanjakan mata dan hati tak selalu harus dipenuhi dengan hal-hal seperti yang tersebut di atas. Memandang suatu tempat yang dipenuhi berbagai kehijauan cukuplah. Mata menjadi lebih sehat. Konon ni bila memiliki gangguan penglihatan mata minus misalnya horizon yang hijau ini bisa dijadikan alternatif mengurangi bertambahnya minus.

Ini mungkin salah satu hikmah saya menjadi pembantu kepala sekolah. Humas adalah bidang saya. Info bisa didapat lebih cepat. Edaran dari Kantor Dinas P dan K mengisyaratkan agar sekolah mengirim delegasi sebanyak 15 personal. Satu guru satu Kepala Sekolah dan 13 murid.

Kegiatan yang akan diselenggarakan adalah senam bersama dan outbond dalam rangka peringatan hari guru, hari korpri dan hari AIDS sedunia. Bertempat di SEAT Lemahireng.

Ketika wakasek bidang kesiswaan memberitahukan hal tersebut  sontak saya memintanya untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Saya pikir beliau memang hobi untuk dikirim dinas luar.

Ternyata jauh dari harapan saya. Alasannya beliau sudah berkali-kali dikirim untuk mengikuti berbagai event di tingkat kecamatan maupun kabupaten dalam acara yang sama: Hari Guru.

Beliau pun seketika meminta saya yang berangkat mewakili Kepala Sekolah. Wah sudah ga bisa mengelak lagi nih, begitu yang terlintas di pikiran saya. Akhirnya saya mengiyakan namun murid menjadi wewenang dia untuk mempersiapkannya.

Yang membuat rasa penasaran saya bertambah-tambah adalah mengenai tempat. SEAT. Dalam kosa kata bahasa Inggris seat ini artinya adalah tempat duduk.

Namun ternyata SEAT ini singkatan dari Stiper Edu Agro Tourism.

Lah bukannya Stiper itu singkatan dari Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian ya. Saya berfikir kenapa Stiper bikin SEAT ini di sini. Apa karena mahalnya harga tanah di Jogja?

Tiba-tiba ibu Eny yang asli Jogja ini berkomentar. Sekarang harga tanah di tempat orang tuanya tinggal sudah mencapai 2,5 juta per meter nya. Memang agak masuk dari jalan besar cuma sedikit berdampingan dengan kampus Stiper. Wajarlah kalau ibu Eny paham. Saya bisa mengerti alasannya. Masuk akal bila Stiper Jogja mencari tanah di luar Jogja.

SEAT ini dari luar tampak berpagar tinggi. Tempat parkir tampak luas bersanding dengan kantor Satpam. Di sebelah kiri ada bangunan berlantai dua serupa kafe. Sedikit ke sebelah kanan ada Gedung Pertemuan.

Namun kegiatan senam ternyata dilakukan di belakang gedung pertemuan ini. Tanah lapang berundak yang cukup menampung dua ratusan orang untuk melakukan apel dan senam meski tangan-tangan kita sedikit bersentuhan.

Saya yang sudah tiba di tempat sebelum jam tujuh dengan membonceng teman guru sedikit terkejut karena suasana masih sepi. Saya berusaha datang sesuai waktu yang ditetapkan. Jam tujuh. Namun bila peserta lain belum datang acara pun ujung-ujungnya mundur dari jadwal yang sudah ditata sebelumnya.

Acara sudah hampir dimulai. Hati saya diliputi kegalauan. Murid-murid belum kelihatan di antara kesamaan kaos yang dipakai. Pak Risang saya minta menghubungi Wakasek Kesiswaan. Beruntunglah sebelum Ibu Kepala Dinas P dan K Kepemudaan dan Olahraga kabupaten Semarang memulai sambutannya mereka sudah tiba.

Saya tenang mengikuti arahan yang diberikan. Yel yel diteriakkan. Pemuda maju. Olahraga jaya. NKRI harga mati. Kemudian acara senam pun dilaksanakan. Dimulai dengan senam kreasi sibong dengan gerakan sederhana dan mudah diikuti. Ah enteng belum memeras keringat, celutuk salah satu peserta. Selesai satu senam ini dilanjutkan dengan senam kedua. Senam aerobik. Dengan panduan dari empat instruktur senam Provinsi Jawa Tengah para peserta mulai terengah-engah. Kebanyakan gerakan yang dipakai adalah high impact dengan musik yang ngebeat.

Saya mulai kelelahan. Biasanya senam di sekolah tiap hari Jumat pagi yang paling lama durasinya adalah setengah jam. Ternyata senam ini masih berlanjut dengan  maumere, tobello, gemu famire. Masih ditambah dengan sinar matahari yang mulai menyengat. Lelah saya semakin menjadi.

Begitu pembawa acara menyatakan senam sudah selesai senanglah rasa hati ini. Air putih dan sekerat roti pun boleh disantap. Bersama murid saya pun melonjorkan kaki di lantai salah satu bangunan. Di antara jajaran bangunan untuk penginapan.

Sejurus kemudian tampak semua peserta mulai bergerak menuju ke suatu tempat. Kami mengikuti jalanan yang di kanan kiri mata kami dibuai dengan buah sirsak dan buah durian yang bergelantungan di masing-masing cabang pohonnya.

Tampak bangunan serupa toilet ada di tebing sekira lima meter di atas jalanan yang kami lalui. Pepohonan jati menghampar di hadapan kami. Di seberang lapangan tempat outbond akan dilaksanakan.

Dengan instruktur dari sebuah EO outbond yang melibatkan murid baik itu SMP, SMK, SMA, guru, kepala sekolah, pegawai UPTD, pengawas, penilik itu pun akhirnya dimulai.

Berbagai permainan yang melibatkan dinamika kelompok pun disuguhkan. Yang salah menafsirkan instruksi pun mendapat hadiah. Olesan bedak tabur di wajahnya. Semakin banyak taburan bedak menunjukkan banyaknya kesalahan yang dia lakukan.

Menjelang dluhur outbond pun selesai. Peserta disuguhi hidangan makan siang. Gendar pecel bacem tahu dan bakwan. Alhamdulillah dalam kondisi lapar makanan tradisional ini pun mengenyangkan.

Apalagi dimakan di alam terbuka di hamparan terpal biru di bawah dedaunan jati dan mendung yang menggulung.

Saya pun memutuskan kembali ke sekolah meski lelah menggayuti. Bertemu dengan Kepala Sekolah disambut dengan pertanyaan. Kamu itu kok berpakaian seperti itu dari mana. Saya terhenyak. Namun segera tersadar. Ibu Kepala memang pelupa. Sebentar lagi purna dalam hitungan hari. Setelah saya jelaskan beliau pun manggut-manggut.

Saya tinggalkan ruang Kepala Sekolah setelah diberi izin menandatangani SKP bulanan. Segera saya langkahkan kaki menuju masjid. Di sana bertemu pak Susilo. Putra mantan carik Lemahireng. Iseng saya menanya tentang SEAT.

Bangunan dan kebun yang luas tersebut ternyata dulunya adalah milik kakeknya.  Di tahun 1979 dibeli oleh pihak Stiper Yogyakarta dengan harga satu meternya 75 rupiah. Harga yang murah. Tapi uang pada waktu itu sangat besar nilainya.

Nah ceritanya nih bapaknya pak Susilo tadi tidak hendak menjual tanahnya. Tapi berhubung semua saudara kandung bapaknya sangat ingin menjual tanah tersebut, maka diiyakan saja.

Menurut penuturannya, bapaknya menekankan bahwa tanah tersebut dijual untuk membiayai sekolah pak Susilo beserta saudara-saudaranya. Dari tanah kembali ke tanah, begitu pesan bapaknya. Bila sudah bekerja maka harta yang dikejar lebih dulu adalah tanah. Boleh sawah boleh kebun. Baru setelahnya mobil, perhiasan bisa dibeli.

Bapaknya akan selalu melakukan verifikasi pada harta anak-anaknya. Kalau sudah memiliki tanah lewat pembelian dianggap sah. Saya yang mendengar narasi ini jadi geleng-geleng kepala. Salut. Hormat. Orang tua di zaman dulu yang memiliki visi ke depan. Karena SEAT yang telah memindahnamakan tanah leluhur mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun