Mohon tunggu...
L Ambar S
L Ambar S Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

S E A T

29 November 2017   17:59 Diperbarui: 29 November 2017   19:36 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan instruktur dari sebuah EO outbond yang melibatkan murid baik itu SMP, SMK, SMA, guru, kepala sekolah, pegawai UPTD, pengawas, penilik itu pun akhirnya dimulai.

Berbagai permainan yang melibatkan dinamika kelompok pun disuguhkan. Yang salah menafsirkan instruksi pun mendapat hadiah. Olesan bedak tabur di wajahnya. Semakin banyak taburan bedak menunjukkan banyaknya kesalahan yang dia lakukan.

Menjelang dluhur outbond pun selesai. Peserta disuguhi hidangan makan siang. Gendar pecel bacem tahu dan bakwan. Alhamdulillah dalam kondisi lapar makanan tradisional ini pun mengenyangkan.

Apalagi dimakan di alam terbuka di hamparan terpal biru di bawah dedaunan jati dan mendung yang menggulung.

Saya pun memutuskan kembali ke sekolah meski lelah menggayuti. Bertemu dengan Kepala Sekolah disambut dengan pertanyaan. Kamu itu kok berpakaian seperti itu dari mana. Saya terhenyak. Namun segera tersadar. Ibu Kepala memang pelupa. Sebentar lagi purna dalam hitungan hari. Setelah saya jelaskan beliau pun manggut-manggut.

Saya tinggalkan ruang Kepala Sekolah setelah diberi izin menandatangani SKP bulanan. Segera saya langkahkan kaki menuju masjid. Di sana bertemu pak Susilo. Putra mantan carik Lemahireng. Iseng saya menanya tentang SEAT.

Bangunan dan kebun yang luas tersebut ternyata dulunya adalah milik kakeknya.  Di tahun 1979 dibeli oleh pihak Stiper Yogyakarta dengan harga satu meternya 75 rupiah. Harga yang murah. Tapi uang pada waktu itu sangat besar nilainya.

Nah ceritanya nih bapaknya pak Susilo tadi tidak hendak menjual tanahnya. Tapi berhubung semua saudara kandung bapaknya sangat ingin menjual tanah tersebut, maka diiyakan saja.

Menurut penuturannya, bapaknya menekankan bahwa tanah tersebut dijual untuk membiayai sekolah pak Susilo beserta saudara-saudaranya. Dari tanah kembali ke tanah, begitu pesan bapaknya. Bila sudah bekerja maka harta yang dikejar lebih dulu adalah tanah. Boleh sawah boleh kebun. Baru setelahnya mobil, perhiasan bisa dibeli.

Bapaknya akan selalu melakukan verifikasi pada harta anak-anaknya. Kalau sudah memiliki tanah lewat pembelian dianggap sah. Saya yang mendengar narasi ini jadi geleng-geleng kepala. Salut. Hormat. Orang tua di zaman dulu yang memiliki visi ke depan. Karena SEAT yang telah memindahnamakan tanah leluhur mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun