Mohon tunggu...
leonides alfino
leonides alfino Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FISIP UAJY

seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praktik Kekerasan Berbasis Gender dalam Jurnalisme

17 Oktober 2022   03:33 Diperbarui: 17 Oktober 2022   06:27 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara itu, dalam kerja jurnalistik, apa yang disebut sebagai nilai berita terkadang secara tidak sadar menggiring upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah. Misalnya, adanya asumsi tentang wacana pemberitaan menyangkut kasus pemerkosaan, yakni korbannya dideskripsikan sebagai wanita pekerja malam, seorang janda cantik, peragawati; sebaliknya pelakunya digambarkan sebagai anak yang pendiam atau ayah yang baik bagi anak-anaknya. Artinya, ketika terjadi pemerkosaan bukanlah berita, baru dianggap berita jika ada yang unik atau aneh dalam pemerkosaan tersebut. 

Contohnya, korbannya sekali lagi ternyata seorang peragawati, janda kembang, atau pelakunya seorang guru dan sebagainya. Tidaklah mengherankan apabila berita pemerkosaan adalah berita yang aneh dan unik, tentang bapak yang memperkosa anaknya, tentang pemuda alim yang tiba-tiba menjadi pemerkosa. 

Melalui ilustrasi semacam itu, secara implisit ditekankan bahwa pemerkosaan merupakan hal yang lumrah, yang biasa terjadi. Akibatnya lebih jauh, kasus pemerkosaan selalu menyudutkan posisi wanita, dikarenakan jelas sekali para pelaku pemerkosaan ini dideskripsikan sebagai orang yang baik, sementara korban pemerkosaannya yaitu wanita yang berperilaku dan berkepribadian buruk.

Media juga sering menutupi kapasitas perempuan dan mereduksinya dengan penampilan fisik. Misalnya prestasi para atlet yang ditutup dengan menonjolkan kecantikan fisiknya. Di sisi lain, perempuan korban juga sering dirugikan melalui penggambaran tampilan fisik. Misalnya korban pemerkosaan yang digambarkan berbaju seksi.

screenshot-2022-10-17-024608-634c696c4addee0d05556d32.png
screenshot-2022-10-17-024608-634c696c4addee0d05556d32.png
Ada juga judul-judul laporan yang berpotensi membangun konstruksi pemahaman tidak tepat dan merugikan korban. Misalnya laporan mengenai seorang istri yang ditampar suaminya karena tidak memasak, istri yang dianiaya karena tidak bisa berdandan, atau istri dibunuh suami karena menolak berhubungan seks. Sejumlah media juga memberi ruang laporan mengenai poligami tanpa memberi sudut pandang yang adil bagi perempuan. Kisah mengenai laki-laki yang menikahi dua perempuan sekaligus dilaporkan dengan nada kebanggaan.

screenshot-2022-10-17-025545-634c697d4addee7300400fe2.png
screenshot-2022-10-17-025545-634c697d4addee7300400fe2.png
Sebagai contohnya yang dimuat dalam media JPPN.com, menuliskan tentang Detik-detik pemerkosaan gadis asal Balikbukit di dalam mobil. Hal tersebut menunjukkan kasus pemerkosaan bukan lagi sekedar sebuah berita melainkan menjadi sebuah pertunjukan seperti sebuah skenario film. Alih-alih memberitakan siapa dan apa motif pelaku, isi berita sama persis dengan judul yaitu menceritakan rangkaian proses pemerkosaan. Pada kasus ini, korban pemerkosaan diibaratkan bagai "sudah jatuh tertimpa tangga" sudah diperkosa masih diberitakan juga detik-detik kejadian yang dialami.

Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan jurnalis dalam membuat berita seperti dalam penggunaan istilah bermakna penting. Korban disini membutuhkan bantuan jurnalis untuk menyuarakan persoalan yang mereka hadapi dengan tepat. Tujuanya, agar pihak yang memang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu, bekerja dengan baik. 

Namun, jurnalis membutuhkan kecermatan dalam bekerja. Pemilihan kata-kata yang tepat menunjukkan kecermatan dan kedalaman kita pada situasi yang dihadapi korban. Dan juga mengupayakan, bahwa apa yang kita sampaikan betul-betul bukan hanya menjadi jembatan suara, tetapi menjadi dukungan yang bisa diberikan kepada korban. Praktik membuat judul-judul yang bombastis, untuk menarik perhatian publik lebih luas seharusnya segera disudahi. 

Praktik jurnalistik sejatinya tidak akan menghakimi atau memojokkan salah satu pihak. Terlebih lagi dalam konteks perempuan atau laki-laki korban kekerasan seksual. Keberpihakan kepada korban kekerasan seksual itu harus mulai dilakukan media, dengan pemilihan diksi yang tepat, tanpa harus menonjolkan erotisme. Selain perbaikan dari sisi jurnalis, pembaca media juga harus berpihak, dengan lebih banyak membaca laporan-laporan berkualitas. Kalau media mengungkapkan fakta, menyampaikan dan menyentuh nilai-nilai kemanusian, selayaknya dibaca dan didukung publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun