Sementara itu, dalam kerja jurnalistik, apa yang disebut sebagai nilai berita terkadang secara tidak sadar menggiring upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah. Misalnya, adanya asumsi tentang wacana pemberitaan menyangkut kasus pemerkosaan, yakni korbannya dideskripsikan sebagai wanita pekerja malam, seorang janda cantik, peragawati; sebaliknya pelakunya digambarkan sebagai anak yang pendiam atau ayah yang baik bagi anak-anaknya. Artinya, ketika terjadi pemerkosaan bukanlah berita, baru dianggap berita jika ada yang unik atau aneh dalam pemerkosaan tersebut.Â
Contohnya, korbannya sekali lagi ternyata seorang peragawati, janda kembang, atau pelakunya seorang guru dan sebagainya. Tidaklah mengherankan apabila berita pemerkosaan adalah berita yang aneh dan unik, tentang bapak yang memperkosa anaknya, tentang pemuda alim yang tiba-tiba menjadi pemerkosa.Â
Melalui ilustrasi semacam itu, secara implisit ditekankan bahwa pemerkosaan merupakan hal yang lumrah, yang biasa terjadi. Akibatnya lebih jauh, kasus pemerkosaan selalu menyudutkan posisi wanita, dikarenakan jelas sekali para pelaku pemerkosaan ini dideskripsikan sebagai orang yang baik, sementara korban pemerkosaannya yaitu wanita yang berperilaku dan berkepribadian buruk.
Media juga sering menutupi kapasitas perempuan dan mereduksinya dengan penampilan fisik. Misalnya prestasi para atlet yang ditutup dengan menonjolkan kecantikan fisiknya. Di sisi lain, perempuan korban juga sering dirugikan melalui penggambaran tampilan fisik. Misalnya korban pemerkosaan yang digambarkan berbaju seksi.
Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan jurnalis dalam membuat berita seperti dalam penggunaan istilah bermakna penting. Korban disini membutuhkan bantuan jurnalis untuk menyuarakan persoalan yang mereka hadapi dengan tepat. Tujuanya, agar pihak yang memang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu, bekerja dengan baik.Â
Namun, jurnalis membutuhkan kecermatan dalam bekerja. Pemilihan kata-kata yang tepat menunjukkan kecermatan dan kedalaman kita pada situasi yang dihadapi korban. Dan juga mengupayakan, bahwa apa yang kita sampaikan betul-betul bukan hanya menjadi jembatan suara, tetapi menjadi dukungan yang bisa diberikan kepada korban. Praktik membuat judul-judul yang bombastis, untuk menarik perhatian publik lebih luas seharusnya segera disudahi.Â
Praktik jurnalistik sejatinya tidak akan menghakimi atau memojokkan salah satu pihak. Terlebih lagi dalam konteks perempuan atau laki-laki korban kekerasan seksual. Keberpihakan kepada korban kekerasan seksual itu harus mulai dilakukan media, dengan pemilihan diksi yang tepat, tanpa harus menonjolkan erotisme. Selain perbaikan dari sisi jurnalis, pembaca media juga harus berpihak, dengan lebih banyak membaca laporan-laporan berkualitas. Kalau media mengungkapkan fakta, menyampaikan dan menyentuh nilai-nilai kemanusian, selayaknya dibaca dan didukung publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H