Kekerasan berbasis gender dalam jurnalisme marak terjadi di dalam jurnalisme. Hal tersebut terjadi karena belum adanya peraturan terkait yang membahas tentang gender. Kasus kekerasan terhadap wanita kerap kali muncul setiap tahunnya, dalam kehidupan sosial budaya di lingkungan masyarakat. Salah satu datanya bisa kita ketahui dengan membaca berita-berita kekerasan tersebut yang termuat di media.Â
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan lemahnya perlindungan hukum bagi wanita korban di Indonesia, kemungkinan dikarenakan eksistensi dari adanya sistem budaya patriarkal di masyarakat, di mana sistem pranata sosial ini mendasarkan pada relasi yang timpang menurut kategori kuat-lemah, pihak yang kuat menguasai dan menindas pihak yang lemah ataupun sistem budaya sosial yang memarjinalkan posisi wanita secara tetap di masyarakat, di mana seolah-olah melegitimasi berbagai macam ketidakadilan, perampasan dan penindasan yang dilakukan pelaku atas hak asasi wanita korban.Â
Oleh karena itu, pentingnya kita mengetahui tentang praktik kekerasan berbasis gender yang terjadi pada sebuah jurnalisme baik dari cara dan bentuknya serta bagaimana cara menanggulangi hal tersebut.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Ada sekitar 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rician; 3.838 kasus pengaduan ke Komnas Perempuan, 7.029 kasus ke lembaga layanan, dan 327.629 kasus ke BADILAG. Terjadi peningkatan KBG terhadap perempuan sekitar 50% atau 338.496 kasus pada tahun 2021. (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sekitar 52%, atau 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).Â
Data Komnas Perempuan juga meningkat signifikan di atas 80%, dari 2.134 kasus di tahun 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021. Sebaliknya pula statistik dari Lembaga layanan turun 15%, terutama karena banyak organisasi penyedia layanan yang belum beroperasi setelah Covid. -19 pandemi, yang mengakibatkan sistem dokumentasi kasus belum memadai dan terbatasnya sumber daya.
Data di atas bertujuan untuk menyoroti fakta bahwa, dalam konteks kehidupan sehari-hari secara sosial di masyarakat, kasus kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi setiap tahunnya. Salah satu datanya bisa kita ketahui dengan membaca berita-berita kekerasan tersebut yang termuat di berbagai media massa baik online maupun konvensional. Budaya memperkosa merupakan serangkaian kepercayaan yang kompleks yang mendukung agresi seksual dan kekerasan pria terhadap wanita. Budaya ini melihat kekerasan sebagai sesuatu yang seksi dan seksualitas sebagai kekerasan. Dalam budaya pemerkosaan, wanita dijadikan objek pelecehan (Subono, 2000: 10).
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan lemahnya perlindungan hukum bagi wanita korban di Indonesia, kemungkinan dikarenakan eksistensi dari adanya sistem budaya patriarkal di masyarakat, di mana sistem pranata sosial ini mendasarkan pada relasi yang timpang menurut kategori kuat-lemah, pihak yang kuat menguasai dan menindas pihak yang lemah ataupun sistem budaya sosial yang memarjinalkan posisi wanita secara tetap di masyarakat, di mana seolah-olah melegitimasi berbagai macam ketidakadilan, perampasan dan penindasan yang dilakukan pelaku atas hak asasi wanita korban (Murniati, 2004: 227-- 229).
Selain itu, media massa juga berpotensi menjadi pemicu bagi perkembangan ketimpangan sosial yang realistis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat luas.Â
Sosok wanita oleh media massa, baik melalui iklan atau beritanya, selalu dideskripsikan secara negatif dan sangat tipikal yaitu wanita tempatnya adalah di rumah, berperan tunggal sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, tergantung pada pria, menjalani profesi secara terbatas, tidak mampu membuat keputusan penting, selalu melihat dirinya sendiri, sebagai objek seksual atau simbol seks (sexploitation, pornographizing), objek peneguhan pola kerja patriarki, objek fetish, objek pelecehan dan kekerasan, selalu disalahkan (blaming the victim) dan bersikap pasif.Â
Eksistensi wanita tidak terwakili pula secara proporsional di media massa, entah dalam industri media hiburan atau dalam industri media berita (Wolf dalam Sunarto, 2009: 4).
Sementara itu, dalam kerja jurnalistik, apa yang disebut sebagai nilai berita terkadang secara tidak sadar menggiring upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah. Misalnya, adanya asumsi tentang wacana pemberitaan menyangkut kasus pemerkosaan, yakni korbannya dideskripsikan sebagai wanita pekerja malam, seorang janda cantik, peragawati; sebaliknya pelakunya digambarkan sebagai anak yang pendiam atau ayah yang baik bagi anak-anaknya. Artinya, ketika terjadi pemerkosaan bukanlah berita, baru dianggap berita jika ada yang unik atau aneh dalam pemerkosaan tersebut.Â
Contohnya, korbannya sekali lagi ternyata seorang peragawati, janda kembang, atau pelakunya seorang guru dan sebagainya. Tidaklah mengherankan apabila berita pemerkosaan adalah berita yang aneh dan unik, tentang bapak yang memperkosa anaknya, tentang pemuda alim yang tiba-tiba menjadi pemerkosa.Â
Melalui ilustrasi semacam itu, secara implisit ditekankan bahwa pemerkosaan merupakan hal yang lumrah, yang biasa terjadi. Akibatnya lebih jauh, kasus pemerkosaan selalu menyudutkan posisi wanita, dikarenakan jelas sekali para pelaku pemerkosaan ini dideskripsikan sebagai orang yang baik, sementara korban pemerkosaannya yaitu wanita yang berperilaku dan berkepribadian buruk.
Media juga sering menutupi kapasitas perempuan dan mereduksinya dengan penampilan fisik. Misalnya prestasi para atlet yang ditutup dengan menonjolkan kecantikan fisiknya. Di sisi lain, perempuan korban juga sering dirugikan melalui penggambaran tampilan fisik. Misalnya korban pemerkosaan yang digambarkan berbaju seksi.
Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan jurnalis dalam membuat berita seperti dalam penggunaan istilah bermakna penting. Korban disini membutuhkan bantuan jurnalis untuk menyuarakan persoalan yang mereka hadapi dengan tepat. Tujuanya, agar pihak yang memang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu, bekerja dengan baik.Â
Namun, jurnalis membutuhkan kecermatan dalam bekerja. Pemilihan kata-kata yang tepat menunjukkan kecermatan dan kedalaman kita pada situasi yang dihadapi korban. Dan juga mengupayakan, bahwa apa yang kita sampaikan betul-betul bukan hanya menjadi jembatan suara, tetapi menjadi dukungan yang bisa diberikan kepada korban. Praktik membuat judul-judul yang bombastis, untuk menarik perhatian publik lebih luas seharusnya segera disudahi.Â
Praktik jurnalistik sejatinya tidak akan menghakimi atau memojokkan salah satu pihak. Terlebih lagi dalam konteks perempuan atau laki-laki korban kekerasan seksual. Keberpihakan kepada korban kekerasan seksual itu harus mulai dilakukan media, dengan pemilihan diksi yang tepat, tanpa harus menonjolkan erotisme. Selain perbaikan dari sisi jurnalis, pembaca media juga harus berpihak, dengan lebih banyak membaca laporan-laporan berkualitas. Kalau media mengungkapkan fakta, menyampaikan dan menyentuh nilai-nilai kemanusian, selayaknya dibaca dan didukung publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H