Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (121)

15 Januari 2016   17:55 Diperbarui: 15 Januari 2016   17:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Remang senja membaur dengan mega malam yang berarak perlahan dari belahan timur. Angin pegunungan mendesing menampar-nampar permukaan danau, merontokkan daun pepohonan di pantai Tuktuk. Aroma malam mengapung menyergap daratan.

Tuktuk sedang lengang. Cuaca mendung seharian seakan meminta orang memilih berdiam di dalam rumah. Hanya beberapa turis bule kelihatan hilir mudik di jalanan. Kehidupan wisata dari waktu ke waktu terus menggeliat. Danau Toba dan pantai serta pegunungan memanjakan banyak orang penyuka panorama dan ketenteraman. Tak ada bom, minus kriminalitas, minus kegaduhan.

Kalau ada kegaduhan saat itu adalah gaduh di pikiran Marihot alias Riko, yang sejak berjam-jam duduk terpana menatap dari jendela kamar kos nya.

Gaduh,galau, apa bedanya. Kepala serasa dikerumuni bnyak kumbang mendengung. Lalu amarah itu memuncak bila ingat insiden penembakan ke pahanya. Entah kemana kini Nika dibawa bandit itu. Geram membara. Tapi itu membuatnya pusing. Perasaan rindu campur aduk. 

Riko beranjak dari duduknya yang lama yang membuat pantatnya kejang. Dengan langkah terpincang-pincang dibantu sebuah tongkat kayu ia menuruni tangga rumah berkolong itu. Ia menyeberangi jalan aspal menuju sebuah kedai yang saat itu masih sepi.

"Jangan dipaksakan dulu,kamu belum sehat," tegur Nai Ramos pemilik kedai.

"Tak apa namboru, aku hanya mau melonggarkan otot. Aku bosan di rumah, rasanya seperti mau mati." 

Riko duduk dekat jendela menghadap ke pantai. Gelap malam mulai merangkul bumi. Tapi di atas bukit ada potongan bulan separuh sudah nongol malu-malu di antara awan hitam yang berkejaran. Cahaya temaram kemerahan membuat suasana menyeramkan.

Riko meraih gitar yang tergantung di dinding. "Minta segelas tuaknya namboru."

Nai Ramos berkata,"Hati-hati Riko, jAngan menambah sakitmu minum tuak."

"Tak apa namboru hanya segelas menghangatkan badan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun