Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (117)

19 Desember 2015   15:01 Diperbarui: 19 Desember 2015   15:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

IBU pemilik rumah berkolong itu merasakan betul derita yang dialami gadis cantik yang duduk lemas bersandar di kursi rotan tua itu. Kronologi peristiwa yang dikisahkan Nika sejak awal di pantai hingga insiden penembakan terhadap Riko, membuatnya terkesiap dan berulangkali menggeleng kepala.

"Astaga, sungguh berat cobaan yang kamu hadapi. Cintamu tak terukur dengan gunung dan dalamnya laut,"

Nika memandang wajah perempuan paruh baya itu dengan perasaan sejuk. Ibu itu menyediakannya makanan nasi berlauk sederhana sayuran rebus dan telur dadar, dan Nika menikmatinya dalam rasa lapar yang lama ditahankan sejak dari Samosir. Kemudian ibu menyuruhnya menanggalkan celana dan kaosnya yang kuyup. "Ini sementara pakai dulu punyaku," katanya seraya memberikan sweter dan gaun tidur. 

"Aku sudah merepotkan ibu, terima kasih sekali bu," kata Nika terbata-bata.

"Panggil aku namboru kalau mau, artinya aku adalah saudara perempuan ayahmu," kata perempuan berhati ikhlas itu, tak bosannya memandang kecantikan gadis di hadapannya.

"Aku juga punya anak perempuan. Aku merasakan sekali penderitaan yang dialami gadis sepertimu."

"Ibu tinggal sendirian di sini?"

"Ya bgitulah ahirnya. Suamiku meninggal tiga tahun yang lalu. Anakku satu perempuan satu laki, dua-duanya sudah berumahtangga. Terkadang mereka datang sesekali bersama cucu menghiburku. Hidup ini memang sepi pada akhirnya, tapi aku menjalaninya dengan bersyukur dan merasa berdosa mngeluhkan apapun yang kualami. Aku percaya Tuhan selalu hadir jika kita memintanya dengan tulus."

Nika terharu mendengarnya. " Saat ini aku juga merasakan kehadiran Tuhan dengan pertolongan ibu, namboru, saat ini."

Sayup-sayup terdengar suara seperti orang bicara dari arah persimpangan dusun. Nika terkesiap,menajamkan pendengaran. Ibu itu melintangkan telunjuk di bibir isyarat agar Nika jangan bersuara. Dibukanya daun jendela sedikit mengintip keluar. 

"Ada dua orang menuju kemari, tapi seorang lagi berdiri di pinggir jalan," bisiknya sambil menutup jendela.

Nika tegang, menahan nafas. Ia memastikan orang itu para bajingan penyanderanya sedang kalang kabut mencarinya.

"Kamu masuk aja ke kamar itu, kamar namboru," kata perempuan itu menunjuk kamar tengah. Dengan perasaan tegang Nika beringsut masuk kamar.

Suara percakapan itu makin dekat dan jelas.

"Gila, mana mungkin gadis itu ke sini," kata yng seorang. Nika kenal suara Ramli, lelaki yang mengawasinya ke toilet rumah makan.

"Aku rasa juga tak mungkin. Dusun ini sepi dan menyeramkan. Mungkin tadi dia terus lari lurus mengikuti jalan tadi." Yang ini suaranya Dirgo.

"Tapi apa kata Tonny ajalah kita ikuti, dia kan keras kepala," sahut Ramli bernada kesal.

Suara anjing menggonggong mengagetkan kedua lelaki sangar itu. Rupanya seberingas apapun lelaki, kaalau sudah anjing yang mendekat keder juga.

"Sssssst...hallo teman, kami bukan maling, kami orang baik-baik," suara Ramli lembut membujuk. Anjing itu mengibas-ibaskan ekornya mengendus-endus ke arah kaki Kedua bandit itu. Ramli dan Dirgo mepet ke dinding rumah tak berani sembarang bergerak, takut digigit.

"Sudah, sudahlah kawan, kami akan pergi," bisik Dirgo ketakutan. Anjing itu seakan mengerti, ia ngeloyor perlahan ke rimbun bambu yang gelap.

"Ayo kita cabut Dir, tempat sialan," gerutu Ramli . Keduanya berjalan pelan seraya berjaga-jaga kalau anjing itu balik menerjang.

Kepada Tonny yang berdiri di simpang jalan dusun, Ramli berkata dengan suara tersekat di kerongkongan," Tak ada di sana bos, kampung itu sepi seperti dihuni setan."

TONNY makin jengkel. "Kita harus temukan gadis itu, bila perlu kita harus bergadang mencarinya malam ini."

* * * * *

Di rumah makan itu sejumlah warga berkerumun menggunjingkan peristiwa hilangnya gadis cantik dari kamar toilet dan sedang dicari tiga lelaki temannya satu mobil. Ragam komentar dan dugaan pun mencuat. Pendapat hampir keseluruhan bernada miring.

"Jangan-jangan ini penculikan anak gadis. Zaman sekarang kejahatan makin menggila," tukas seorang ibu muda.

"Aku juga condong berprasangka begitu," kata wanita lainnya yng menggendong bayinya.

"Kurasa ketiga lelaki itu orang jahat ya," timpal seorang lelaki berkaca mata.

Lelaki yang tadi makan di sudut ruangan memencet-mencet tombol ponselnya, menulis pesan singkat ke salah satu nomor kenalannya di kantor polisi.

SMS itu langsung direspon dengan telepon langsung orang yang di sms.

"Jadi orangnya masih di sana?" tanya aggota polisi yang menerima sms.

"Orangnya lagi pergi mencari gadis itu, tapi mobilnya masih parkir di sini." kata lelaki yang mengirim pesan.

"Mobil apa ?"

"Fortuner hitam."

"Oke lae, tolong awasi terus, kami segera meluncur."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun