Nika tegang, menahan nafas. Ia memastikan orang itu para bajingan penyanderanya sedang kalang kabut mencarinya.
"Kamu masuk aja ke kamar itu, kamar namboru," kata perempuan itu menunjuk kamar tengah. Dengan perasaan tegang Nika beringsut masuk kamar.
Suara percakapan itu makin dekat dan jelas.
"Gila, mana mungkin gadis itu ke sini," kata yng seorang. Nika kenal suara Ramli, lelaki yang mengawasinya ke toilet rumah makan.
"Aku rasa juga tak mungkin. Dusun ini sepi dan menyeramkan. Mungkin tadi dia terus lari lurus mengikuti jalan tadi." Yang ini suaranya Dirgo.
"Tapi apa kata Tonny ajalah kita ikuti, dia kan keras kepala," sahut Ramli bernada kesal.
Suara anjing menggonggong mengagetkan kedua lelaki sangar itu. Rupanya seberingas apapun lelaki, kaalau sudah anjing yang mendekat keder juga.
"Sssssst...hallo teman, kami bukan maling, kami orang baik-baik," suara Ramli lembut membujuk. Anjing itu mengibas-ibaskan ekornya mengendus-endus ke arah kaki Kedua bandit itu. Ramli dan Dirgo mepet ke dinding rumah tak berani sembarang bergerak, takut digigit.
"Sudah, sudahlah kawan, kami akan pergi," bisik Dirgo ketakutan. Anjing itu seakan mengerti, ia ngeloyor perlahan ke rimbun bambu yang gelap.
"Ayo kita cabut Dir, tempat sialan," gerutu Ramli . Keduanya berjalan pelan seraya berjaga-jaga kalau anjing itu balik menerjang.
Kepada Tonny yang berdiri di simpang jalan dusun, Ramli berkata dengan suara tersekat di kerongkongan," Tak ada di sana bos, kampung itu sepi seperti dihuni setan."