Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (115)

12 Desember 2015   11:51 Diperbarui: 12 Desember 2015   11:51 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GERIMIS halus bagai salju dikirim dari langit melalui awan tebal yang berkejaran ke satu arah. Tak lama lagi kegelapan akan mampir. Nika tak memperhatikan guyuran gerimis yang mengapung di sana-sini. Ia berharap kegelapan secepatnya membalut bumi.

Beberapa kali ia gagal mengeluarkan badannya lewat dinding atas toilet yang terbuka,lebarnya dua ukuran papan. Pada hal tubuhnya tak gemuk,masih leluasa keluar dari bagian yang terbuka itu. Tapi ia merasa tak sekuat biasanya. Terlalu lama duduk di mobil dengan pikiran tegang membuat sekujur badannya terasa tegang. 

"Oh my god,please help me," gumamnya seraya mencoba lagi menjulurkan dirinya untuk keluar.

Dicobanya lagi. Dicobanya untuk yang ke lima kali. Dinding bagian bawah terlalu datar, tak ada tempat pijakan. Akhirnya dibukanya sepatu Nike yang dipakainya, barulah ia lebih mudah merayap naik. Ia hampir kehilangan tenaga. Tapi semangat dan tekat memberinya dorongan.

Ketika separuh badannya sudah terjulur di dinding menganga itu, ia merasakan gamang melihat ke bawah. Batas antara sungai dengan toilet hanya sekitar satu meter. Masih ada tempat ketimbang lngsung ke sungai. Dengan hati-hati Nika memberanikan diri meluncurkan diri ke bawah,dengan mendahulukan kedua tangan. Mujur ia bisa terguling menimpa tanah berumput cukup tebal. Ia merasakan telapak tangannya kesemutan. Kemudian ia memakai sepatunya kembali. Berpaling ke kiri kanan, mau arah ke mana gerangan pergi. Di sekitar tanggul sempit itu penuh rerumputan dan tanaman ubi dan jagung. Cukup aman untuk sembunyi andai lelaki yang mengawasinya akhirnya sadar dirinya dikibuli.

Suasana makin remang. Nika berharap biarlah kegelapan berbaur dengan gerimis. Seandainya dirinya dikejar, pasti lebih sulit. Nika merasakan wajah dan celana jinsnya mulai kuyup. Perlahan ia merangkak, ke arah rimbun tanaman jagung dan ubi kayu di sekitar tanggul sungai. Tak terasakan lagi olehnya gerombolan nyamuk mengepung, atau mungkin juga pacat pengisap darah sudah menempel di badan.

Nafasnya terengah ketika menyurukkan dirinya ke rimbunan jagung dan daun ubi yang rapat. Ia mengatur nafas. Merasa lega karena kegelapan makin pekat. Tapi ia mengeluhkan gerimis yang makin deras. Tubuhnya menggigil menahan sergapan dingin. Ia merasa mau ambruk tapi ia bertahan memegangi batang jagung yang sebenarnya tak cukup kuat menahan. Dan ia tak ambruk, ia duduk menahan nafas mengintai dari celah tumbuhan sekitarnya.

Gelap malam sangat melegakan, sekaligus mencemaskan. Mau ke mana lagi di tengah suasana asing baginya.Nika teringat pada Riko dan penggalan-penggalan peristiwa beberapa jam lalu, hingga meletusnya pistol di tangan lelaki itu. Masih terngiang jeritan Riko di tengah kesunyian dekat pantai. Masih ingat dia ketika dirinya diseret paksa masuk mobil dan sesuatu disumpalkan ke mulutnya. 

 Nika membisikkan dalam hatinya semoga Riko masih hidup. "Oh Tuhan hanya Engkau maha tahu dan maha penolong bagiku, selamatkanlah dia yang kucintai. Aku akan datang lagi padanya, Engkaulah yang akan menuntun langkahku..."

Serangan nyamuk dalam keremangan itu mulai meresahkannya. Lehernya juga terasa gatal. Nika merasa tak tenang. Tak seharusnya terus bertahan di tempat ini. Jangan-jangan ada ular tiba-tiba muncul. "Aku harus menyingkir menjauh dari mereka."

* * * * *

RAMLI celingukan berdiri di teras belakang rumah makan. Berulang kali melihat ke arah toilet. Gadis itu tak kunjung nongol.  Kenapa begitu lama. Ramli mulai disusupi perasaan aneh. Tapi ia bersabar menunggu beberapa saat lagi. Mungkin gadis itu sekalian buang air besar.

Di dalam mobil, Tonny juga gusar. Sudah lebih seperempat jam Ramli dan gadis itu belum juga keluar. Apa-apaan ini. Tonny berpikiran buruk pada Ramli yang dikenalnya jahat terhadap gadis cantik.

Dirgo yang membeli makanan datang menenteng plastik besar berisi bungkusan nasi dan minuman botol.

"Kenapa lama kali mereka di sana, jangan-jangan Ramli neko-neko, kamu tau siapa Ramli kan." Tonny benar-benar gusar bukan main.

"Aku akan cek dulu bos," kata Dirgo setelah meletakkan bungkusan plastik di jok depan.

Dirgo masuk kembali ke warung, melihat Ramli berdiri mengisap rokok, mungkin juga ganja.

"Hey, lama amat," tegur Dirgo menepuk bahu kawannya.

"Tauk,itu cewek berak kali," sahut Ramli melototkan mata.

"Toiletnya mana,"tanya Dirgo. Ramli menunjukkannya.

Dirgo memanggil gadis pelayan." Tolong lihat dulu teman kami sudah kelamaan di dalam."

Gadis itu ngeloyor menuju toilet di sisi kamar gudang. Lalu dikettuknya pintu beberapa kali.  Tak ada jawaban.

"Maaf pak, saya sudah ketuk pintunya tak ada yang menyahut."

Ramli dan dirgo saling pandang.

"Kita cek yok," kata Dirgo.

Keduanya melangkah cepat ke toilet, lalu mengetuk pintu." Nona, kamu belum siap juga? kita mau berangkat."

Tak ada jawban walau berulang ditanya dan pintu digedor lebih keras. Ibu pemilik kedai datang dari depan." Ada apa ini bapak-bapak."

"Maaf bu, gadis tadi kelamaan di dalam, tapi tak ada jawaban. Apa boleh kami permisi mendobrak pintunya?"

Ibu itu geleng kepala."Ada-ada saja. Baiklah didobrak saja itu."

Dengan tiga kali dorongan kuat tangan Ramli yang kekar, tak sulit membuka pintu dengan paksa. 

Mereka menatap bengong ke dalam. Tak ada siapa-siapa di situ. Mereka lalu sadar apa artinya bagian dinding atas yang terbuka.

Dengan panik Ramli dan Dirgo melongok dari sisi teras belakang yang menghadap sungai. "Pasti kabur ke sini."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun