Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (113)

7 Desember 2015   20:39 Diperbarui: 7 Desember 2015   20:39 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INSIDEN penembakan itu cukup menghebohkan masyarakat sekitar. Ragam komentar dan analisis pun mencuat. Ada yang prihatin dan mengutuk pelaku kekerasan itu,setelah tahu yang jadi korban adalah Marihot alias Riko,yang pergaulannya cukup luas di seputaran Samosir.

"Sai mate dibuat begu ma akka parjahat I", omel seorang ibu berambut putih penuh uban. (Mampuslah penjahat itu diambil setan).

Polisi memberi perhatian ekstra. Sebagai daerah wisata populer, citra pulau Samosir harus dijaga. Polisi sudah meminta bantuan polisi di daerah-daerah yang kemungkinan dilintasi Fortuner hitam itu. Meski informasi dari Riko hanya menyebut nomor plat tanpa serinya, itu sudah sangat bermanfaat bagi polisi melacak.

Polisi di Dolok Sanggul sudah dihubungi, begitu juga polisi Siborongborong dan Tarutung. Sementara untuk arah Medan via Sidikalang dan Kabanjahe juga sudah dihubungi.

* * * * *

NIKA bersandar lemas, pikirannya mulai bekerja,meski masih agak linglung. Efek obat bius itu perlahan mulai menghilang. Nika mereview apa yang terjadi. Ia tak bicara sepatah pun, walau pria berkumis di sampingnya berulangkali menyapa dengan suara ramah.

"Minum dulu non, kamu sudah haus. Atau lapar barangkali, ini ada roti menunggu nanti dibelikan makanan." Tonny membujuk. Malah Nika menatapnya dengan mata mendelik marah.

Dicoba beberapa kali tak juga menyahuti, Tonny tak hilang akal. Dia tahu gadis itu sedang menyimpan amarah. Tonny meraba tangan gadis itu."Ayolah dik minumlah sedikit aja sayang, kita masih lama sampai di Jakarta."

Pancingan Tonny berhasil.

Nika merenggut tangannya dari genggaman lelaki itu.

"Laki-laki brengsek, penjahat kampungan main culik gadis. Awas kalian akan merasakan ganjaran." Nada suara Nika melengking, matanya melotot.

"Jangan marah dulu nona, ini semua demi kebaikan nona juga. Kami hanya menjalankan permintaan ibu nona."

Pikiran Nika makin terang. Dia ingat kini kronologi insiden itu, membuat hatinya menjerit.

Oh Riko tertembak. Apa masih hidup? Kecemasan berkecamuk. 

"Biadab!", ingin ia menendang mulut yang menyeringai di depannya. Tubuhnya berguncang hebat mengekang emosi.

" Tenang, tenang nona, mari kujelaskan." Tonny membujuk tapi ia tak mEnjamah gadis itu lagi.

"Kamu semua biadab!!!" Nika kini tak kuasa menahan tangis. 

"Tetapi ini semua kehendak ibumu." Tonny berusaha menenangkan gadis yang seakan mau menerkamnya.

"Tak perlu penjelasan. Yang penting aku mau tahu apa Riko sudah mati atau masih hidup." Nika terisak.

Dirgo yang menjawab dari belakang kemudi." Yakinlah kami nona, dia cuma luka ringan, dia tak apa-apa."

"Kalian menembaknya,kalian jahat." Nika menahan jeritan. Jakunnya turun naik.

Ramli menimpali dari samping Dirgo." Kalau dia tak duluan menyakiti kami, dia tak perlu kena tembak."

Nika menggeleng-geleng kepala, mengusap mata." Kalian tak bisa memaksa cintaku berakhir di sana. Kalian boleh menawan badanku, tapi tidak hatiku."

Tony menyeringai. "Wah puitisnya".

Nika merasakan betapa muak dan bencinya ia pada Tonny. Tiba-tiba saja tangannya bergerak menampar muka jelek lelaki itu. Tapi tangan Tonny lebih cepat bergerak menangkapnya. Nika meronta. Tonny terbahak.

"Benar-benar gadis liar, pantas nyonya Vera sampai memberi tugas khusus pada kita menjinakkannya." 

Dirgo dan Ramli tertawa bareng. Bertambah bencinya Nika.

Nika menoleh keluar melihat suasana. Sepertiinya mobil itu sedang melintasi jalan berkelok-kelok. tampaknya makin ramai.

"Kita sudah di mana ini," bertanya Tonny sambil mencium aroma telor rebusm

Ramli yang menjawab," Aku dulu pernah lewat sini mau ke Padang, daerah ini ada pemandian air panas, berarti kita sudah dekat  kota Tarutungm"

"Kita berhenti sebentar di sana Dir beli makanan. Tapi hati-hati Dir kurasa kita sedang dicari polisi," kata Tonny mengingatkan.

Nika berpikir keras. Ada ide muncul di benaknya.

"Aku mau turun nanti," katanya berharap idenya berhasil.

"Jangan nona, kamu tetap di mobil." Tonny menggeleng.

"Aku harus turun nanti di rumah makan itu." 

Tonny menatapnya lurus.

"Kenapa harus turun"

"Apa aku harus buang air di sini, atau terus menahannya sampai aku..." nada suara Nika melembut.

Sesaat Tonny tertegun. Sadar apa yang dikatakan gadis itu suatu hal yang logis. Tetapi...

"Kalian berdua apa pikiran kalian," tanya Tonny pada Ramli dan Dirgo. 

Yang ditanya malah merasa bingung. "Yah gimana menurut bos saja."

"Dasar otak udang kalian," bentak Tonny. Keduanya terdiam.

"Aku sudah mendesak mau ke toilet," Kata Nika lagi bernada mendesak.

Tonny menghela nafas. Sulit menentukan sikap.

Akhirnya," Tapi apa terjamin kamu tidak macam-macam"

"Aku janji," kata si gadis mantap.

"Oke liat nanti," kata Tonny. Lalu katanya kepada Dirgo," lihat nanti rumah makannya jangan yang di kota, sebaiknya yang Di pinggiran agak sepi."

"Ok bos."

Fortuner itu kini akan memasuki kota Tarutung yang dibelah sungai. Dirgo mengurangi kecepatan saat melintasi jembatan masuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun