* * * * *
Feri yng membawa Riko dan Nika sudah senja merapat di dermaga Tomok. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Tuktuk, Nika minta singgah sebentar di resto mau minum.
"Aku haus, kita cari minuman dulu," kata Nika. Pak Sima sebagai sopir sewaan tak banyak komen. Ia mengikuti apa maunya nona itu. Tapi sejak awal Pak Sima memerhatikan kedua pasangan itu, dan pikirannya dipenuhi ragam dugaan. "Beruntung sekali anak muda ini bisa sedekat itu dengan gadis secantik ini. Sungguh betul orang bilang cinta itu buta," kata Pak Sima dalam hati.
Tuktuk sudah diselimuti kabut senja jelang malam ketika Inova itu parkir di halaman salah satu hotel.
Pak Sima makin tertanya-tanya di hati, begitu istimewakah hubungan kedua insan ini kalau mereka satu kamar di hotel? Tapi prasangka sopir itu buyar, ketika Ia mendengar Riko berkata pada resepsionis. "Nona ini menginap single."
Pak Sima menghela nafas.
Ketika seorang pegawai hotel muncul untuk membawakan koper Nika, Riko berkata "Biarkan aku saja yang membawanya." Pegawai hotel itu cukup kenal Riko, hanya mengangguk sambil senyum mengerti.
Kamar yang dipilih Nika cukup besar dan interiornya didesain cukup bagus. Riko mengantar Nika ke kamarnya.
"Jangan terus pergi Rik, aku masih perlu ngobrol denganmu." kata Nika.
"Ya, tapi kamu mengerti Nik ya, aku tak bisa mendampingimu terus di sini, semua orang di sini kenal aku."
Nika duduk melonjorkan kaki di ranjang. Posturnya yang padat berisi, mengundang tatapan kagum Riko. Lalu Riko juga duduk santai di sisi ranjang. Keduanya saling pandang, saling mengumbar senyum. Senyum penuh arti yang hanya mereka yang merasakan. Ada gejolak kerinduan yang lama terbelenggu. Ada pendar-pendar api kasmaran yang melecuti lubuk hati. Seakan gunung berapi yang eksplosif, dan siap menyemburkan lahar panas. Terasa ada getaran yang tak tertahankan. Kalau demikian perlukah malu dibiarkan menghambat hasrat?Â