Mohon tunggu...
Tyan Nusa
Tyan Nusa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Sedang Menempuh Studi Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

3 Puisi Keberangkatan

10 Desember 2020   21:50 Diperbarui: 10 Desember 2020   21:58 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Note: Puisi-puisi ini saya tulis barang menanti penerbangan Kupang-Ende di lobi Bandara El Tari. Rabu, 9 Desember 2020. Sebuah peristiwa beberapa hari belakangan membuat tubuh saya letih dan pikiran jadi makin binal.

Berpisah dengan Kayangan

“Hayalan adalah kayangan!” dan kenangan begitupun sebaliknya. Kau bermegah.

Bak Sang Maha Kuasa dan lidah-lidah api-Nya, yang mahir

melintir jalur panjang sepanjang bayang-bayang tubuhmu.

Derap langkahmu kilat tak lagi senyap.

Yang ku dengar? Engah mu jadi terlalu tinggi. Terlampau jauh. Terlampau dalam. Lebih dalam lagi. 

Sampai tak mampu ku tagi janji itu.

“ Aku takut jatuh dan tenggelam.”

Sepekan Setelah Putus

Ayo! kita bisa mengibaratkan semua yang putus cinta,

dengan jalak betina depan rumahmu.

Yang sering bertengger di ujung lumbung di bawah Oak yang kalian tanam

di atas bukit yang tumbuh dewasa barang sejam.

Lalu tumbang dalam sekali ayunan.

Juga jarak!

Antara dermaga putih dan gugusan perahu-perahu tua yang lantaran lama tersesat

di laut hingga raib dan hanyut di arus wajahmu

Kau tambatkan semuanya di dasar hatimu

menyembuyikan hening dari denting lonceng-lonceng Balangiga

menara yang tinggi menyaksikan perang saudara nenek moyang kita

Temaram dalam kisah satu pekan

Cerita 7 hari. Mengalun sembahyang dalam plot yang panjang dan sudut pandang yang pendek. 

Satu-satunya trauma milik Osiris, laku kau jual. 

Dan aku puas menyekanya sampai berdarah.

Kujadikan lagu pengantar tidur

Melayat

Ketika di batas waktu, cupid-cupid purba yang panas hati menunggumu

di muka makam

dengan muka merah padam.

Jangan-jangan dan jarang-jarang benar dugaanku?

Kau paksa mereka menarik busur, dan mengorbankan kekasih mu kan?

Lihat ke depan! 

uap panas yang menyembur dicela silhouette wajah-wajah yang mengantar, terhampar jelas mengalas ceritamu.

Kenapa kau bergeser saat air di wajahmu lengser?

Slow!  ibarat benih-benih jatuh yang terlanjur tumbuh jadi mawar berduri yang mekar.

Atau bagiku itu Myosotis yang merekah di atas pusara-pusara tua

tempat hasrat dan harap disemayamkan.

Kita tampak sedih dan runyam setelah itu. Jemari dan sendra tari itu sudah lelah pura-pura tegar

Padahal  gelemelut sudah fasih dan sedih bercampur tuak yang diseka di atas bebatuan

Tubuh dan wajah yang berisak merasa tak sanggup terlihat dewasa.

"Maunya jadi kecil lagi?"

Saya dan mereka menyelubungi diri dengan sajak.

Menunggu kau selesai dengan urusanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun