Note: Puisi-puisi ini saya tulis barang menanti penerbangan Kupang-Ende di lobi Bandara El Tari. Rabu, 9 Desember 2020. Sebuah peristiwa beberapa hari belakangan membuat tubuh saya letih dan pikiran jadi makin binal.
Berpisah dengan Kayangan
“Hayalan adalah kayangan!” dan kenangan begitupun sebaliknya. Kau bermegah.
Bak Sang Maha Kuasa dan lidah-lidah api-Nya, yang mahir
melintir jalur panjang sepanjang bayang-bayang tubuhmu.
Derap langkahmu kilat tak lagi senyap.
Yang ku dengar? Engah mu jadi terlalu tinggi. Terlampau jauh. Terlampau dalam. Lebih dalam lagi.
Sampai tak mampu ku tagi janji itu.
“ Aku takut jatuh dan tenggelam.”
Sepekan Setelah Putus
Ayo! kita bisa mengibaratkan semua yang putus cinta,
dengan jalak betina depan rumahmu.
Yang sering bertengger di ujung lumbung di bawah Oak yang kalian tanam
di atas bukit yang tumbuh dewasa barang sejam.
Lalu tumbang dalam sekali ayunan.
Juga jarak!
Antara dermaga putih dan gugusan perahu-perahu tua yang lantaran lama tersesat
di laut hingga raib dan hanyut di arus wajahmu
Kau tambatkan semuanya di dasar hatimu
menyembuyikan hening dari denting lonceng-lonceng Balangiga
menara yang tinggi menyaksikan perang saudara nenek moyang kita
Temaram dalam kisah satu pekan
Cerita 7 hari. Mengalun sembahyang dalam plot yang panjang dan sudut pandang yang pendek.
Satu-satunya trauma milik Osiris, laku kau jual.
Dan aku puas menyekanya sampai berdarah.
Kujadikan lagu pengantar tidur
Melayat
Ketika di batas waktu, cupid-cupid purba yang panas hati menunggumu
di muka makam
dengan muka merah padam.
Jangan-jangan dan jarang-jarang benar dugaanku?
Kau paksa mereka menarik busur, dan mengorbankan kekasih mu kan?
Lihat ke depan!
uap panas yang menyembur dicela silhouette wajah-wajah yang mengantar, terhampar jelas mengalas ceritamu.
Kenapa kau bergeser saat air di wajahmu lengser?
Slow! ibarat benih-benih jatuh yang terlanjur tumbuh jadi mawar berduri yang mekar.
Atau bagiku itu Myosotis yang merekah di atas pusara-pusara tua
tempat hasrat dan harap disemayamkan.
Kita tampak sedih dan runyam setelah itu. Jemari dan sendra tari itu sudah lelah pura-pura tegar
Padahal gelemelut sudah fasih dan sedih bercampur tuak yang diseka di atas bebatuan
Tubuh dan wajah yang berisak merasa tak sanggup terlihat dewasa.
"Maunya jadi kecil lagi?"
Saya dan mereka menyelubungi diri dengan sajak.
Menunggu kau selesai dengan urusanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H