Sekarang, saya akan membahas tentang eubacteria. Dinding sel eukariotik terdiri dari peptidoglikan (polimer karbohidrat dan protein). Eubacteria diklasifikasikan berdasarkan perbandingan signature sequence(urutan basa khas) pada RNA ribosom. Klasifikasi tersebut adalah proteobacteria, bakteri gram positif, cyanobacteria, spirochaeta (bakteri gram negatif), dan chlamydia. Habitat eubacteria adalah lingkungan kosmopolitan, contohnya adalah gurun, lingkungan bersalju, dan lautan dengan suhu yang normal. Meskipun begitu, sebagian kelompok eubacteria ada yang bersifat parasit, seperti chlamydia dan spirochaeta. Sebagai parasit, chlamydia dan spirochaeta harus memiliki pertahan diri yang kuat untuk melindungi diri dari antibodi, antibiotik, dan zat zat yang dapat membunuhnya. Sedangkan antibodi dan antibiotik sendiri mengandung zat zat yang dapat bersifat mutagen. Semakin lama, bakteri tersebut akan membentuk dinding sel yang lebih tebal untuk melindungi dirinya. Maka dari itu, mutagen akan lebih sulit masuk menembus dinding sel yang tebal tersebut sehingga mutasi tidak terjadi.
Pada sel eukariotik, dinding sel hanya berupa kitin (kingdom fungi), selulosa (kingdom plantae dan protista mirip jamur), dan lignin (kingdom plantae). Dinding sel yang terdapat pada alga, fungi dan plantae lebih tipis dibadingkan dengan dinding sel pada sel prokariotik karena dinding sel pada sel eukariotik lebih berfungsi untuk memberi bentuk pada sel daripada perlindungan. Mengapa demikian? Karena sebagian besar dari anggota sel eukariotik berukuran makroskopis yang berarti jumah selnya lebih dari 1 (multiseluler). Bahkan pada kingdom animalia dan protista mirip hewan tidak memiliki dinding sel. Pada organisme multiseluler, pertahanan diri bukan lagi pada tingkat sel. Sedangkan pada tingkat sel, pertahanan diri dari ancaman adalah dengan berasal dari lisosom.Â
Lisosom sendiri tidak cukup kuat untuk menahan mutagen. Hal ini disebabkan karena dinding sel eukariotik yang jauh lebih tipis dibandingkan dinding sel prokariotik. Meskipun pada sel prokariotik tidak memiliki lisosom untuk pertahanan diri dari ancaman, namun dinding sel yang tersusun atas lipid membuatnya mampu bertahan dari mutagen. Contohnya adalah antibodi manusia yang dibentuk pada sel darah putih berfungsi untuk melindungi kesatuan individu, bukan melindungi satu sel saja. Hal ini menyebabkan mutagen lebih mudah masuk ke dalam sel dan mengubah materi genetik sel tersebut sehingga tercipta sifat pewarisan yang baru. Terdapat banyak kejadian yang membuktikan bahwa sel eukariotik lebih mudah mengalami mutasi. Contohnya adalah kelinci yang tidak memiliki telinga, dua badan jagung yang menyatu menjadi satu, dan lain lain.
Alasan kedua mengapa saya berpendapat bahwa sel eukariotik lebih mudah mengalami mutasi daripada sel prokariotik berkaitan dengan proses replikasi DNA. Replikasi DNA sel prokariotik lebih sederhana daripada sel eukariotik. Sel prokariotik melakukan replikasi di dalam sitoplasma karena materi genetik sel prokariotik berada di sitoplasma. Sedangkan pada sel eukariotik, replikasi DNA terjadi di dalam nukleus (inti sel) karena materi genetik berada di dalam nukleus. Pada sel prokariotik, replikasi DNA terjadi di satu tempat pada satu waktu. Namun, replikasi DNA sel eukariotik terjadi semua titik secara bersamaan. Pada sel prokariotik, terdapat dua cabang replikasi di setiap kromosom. Pada sel eukariotik, terbentuk sejumlah cabang replikasi secara bersamaan di setiap DNA replikasi.Â
Dalam sel prokariotik, kromosom tidak mengandung kromatin, sedangkan pada sel eukariotik kromatin mengalami pemendekan menjadi kromosom dan menyusun sebagian besar inti sel eukariotik. Pada sel eukariotik terbentuk kurang lebih 150 nukleotida, sedangkan pada sel prokariotik ada 100 hingga 200 nukleotida yang terbentuk. Terdapat satu replikon pada kromosom sel prokariotik. Sedangkan molekul DNA prokariotik mengandung replikon dalam jumlah yang besar (50.000 atau lebih), meskipun begitu replikasi tidak terjadi secara bersamaan di semua replikon. Selama replikasi DNA sel prokariotik, akan terbentuk satu gelembung replikasi. Pada sel eukariotik, akan terbentuk banyak gelembung replikasi dalam satu molekul DNA yang melakukan replikasi.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa replikasi DNA sel prokariotik terjadi dengan lebih sederhana dan dilakukan dalam waktu yang sangat cepat (2000 nukleotida per detik). Sedangkan pada sel eukariotik, replikasi DNA terjadi dengan lebih kompleks dan dilakukan dalam waktu yang lama (100 nukleotida per detik). Hal ini dibuktikan dengan lebih pesatnya pertumbuhan bakteri (prokariotik) dibandingkan organisme lainnya.
Jika waktu yang diperlukan untuk melakukan replikasi DNA singkat, maka kesempatan mutagen untuk mengganggu proses replikasi dan mengubah susunan materi genetik kecil. Selain itu, jika seandainya replikasi DNA terganggu, maka sel prokariotik akan lebih mudah untuk memperbaiki dirinya karena hanya ada satu asal replikasi per molekul DNA (lebih sederhana). Jika terjadi kerusakan, sesuatu yang sederhana akan lebih mudah untuk diperbaiki daripada sesuatu yang kompleks. Pada sel eukariotik, mutagen akan lebih mudah untuk mengubah susunan materi genetik sel karena setiap kromosom sel eukariotik terdapat lebih dari 1000 asal replikasi. Jika terjadi mutasi pada sel eukariotik, kemungkinan besar akan terbentuk varietas baru karena proses replikasi DNA lambat sehingga kemampuan sel untuk memperbaiki diri juga berlangsung secara lama. Sehingga dapat diketahui bahwa sel eukariotik lebih rentan terhadap mutagen dibandingkan sel prokariotik.
Alasan ketiga mengapa saya setuju dengan pernyataan di atas berkaitan dengan masalah organel organel sel yang lain. Dengan adanya teori endosimbiosis yaitu hubungan yang terdapat dalam sel, dapat diketahui bahwa beberapa organel sel dulunya adalah sel tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa organel sel yang memiliki DNA tersendiri, seperti mitokondria dan kloroplas. Mitokondria dan kloroplas masuk ke dalam sel karena kedua organel tersebut akan mendapat perlindungan. Sedangkan keuntungan sel jika mitokondria dan kloroplas masuk adalah mendapatkan energi. Pada sel prokariotik, tidak ditemukan mitokondria dan kloroplas. Hal ini berarti tidak ada DNA lain di dalam sel prokariotik. Sedangkan pada sel eukariotik, ditemukan mitokondria dan kloroplas.Â
Hal ini berarti ada lebih dari 1 jenis DNA dalam kesatuan sel. Maka dari itu, mutagen akan memiliki lebih dari satu tujuan penyerangan. Mitokondria dan kloroplas akan menjadi pilihan lain jika mutagen tidak berhasil mempengaruhi susunan materi genetik DNA di inti sel. Hal ini dapat memicu terjadinya mutasi. Jika mitokondria atau kloroplas berhasil dimasuki oleh mutagen, maka hampir dapat dipastikan bahwa sel tersebut akan mengalami mutasi. Pada sel prokariotik, mutagen hanya dapat menyerang nukleoid karena tidak terdapat organel sel lain yang mengandung DNA. Sehingga mau tidak mau, jika mutagen gagal menyerang nukleoid berarti mutasi tidak mungkin terjadi.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sel eukariotik lebih mudah mengalami mutasi dibandingkan sel prokariotik. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama, dinding sel prokariotik yang tersusun dari lipid dan lebih tebal dibandingkan dari sel eukariotik memungkinkannya untuk bertahan dari serangan mutagen. Faktor kedua, proses replikasi DNA sel prokariotik jauh lebih singkat sehingga kesempatan mutagen untuk mengubah susunan materi genetik lebih kecil. Faktor terakhir yaitu pada sel eukariotik, terdapat organel sel yang di dalamnya mengandung DNA sehingga resiko untuk terserang mutagen lebih besar karena mutagen memiliki pilihan lain jika tidak berhasil mengubah susunan materi genetik di inti sel.
Terima kasih telah membaca artikel ini.