Mohon tunggu...
Leonard Sirait
Leonard Sirait Mohon Tunggu... Wiraswasta - Horas Man

Pria Batak yang diberi nama, Utjok Ganefo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Risma, Janda yang Dibuang Gerejanya

4 November 2021   09:14 Diperbarui: 4 November 2021   09:18 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

RISMA, JANDA YANG DIBUANG GEREJANYA

Sore itu, Murni merasa ada yang mendorongnya untuk pergi ke rumah kakaknya, Risma. Tiga anak Risma yang masih kecil-kecil, tiba-tiba sesunggukan menagis ketika melihat tantenya, Murni, tiba di rumah. Murni pun terperanjat. Dia peluk ketiga anak kecil tersebut. Dia alihkan pandangannya ke arah kakaknya, Risma, yang duduk di kursi dan menatap ke arah pintu utama.

Murni melihat tatapan kakaknya blur, kosong. Murni pun menyadari ada yang tidak beres terhadap Risma dan anak-anaknya.

"Kakak, sakit? Kurang sehat?" tanya Murni pada Risma.

Risma diam. Pertanyaan adiknya tampak tak digubrisnya.

"Kalian sudah makan?" tanya Murni kepada anak-anak yang ada didekapannya.

Murni bukanya mendapatkan jawaban, tetapi ketiga anak kecil tersebut makin menangis.

"Ada apa? Kenapa ditanya malah tambah nangis? Bapak di mana ?" tanya Murni merasa kebingungan.

Seketika itu, ketiga anak-anak tersebut makin menangis dan memeluk erat-erat tantenya.

Murni merasa prihatin melihat kenyataan keadaan kakak dan anak-anaknya berubah sangat drastis dan tampak tak terurus. Seketika itu diraihnya Hp lalu dihubunginya Edy, itonya (saudara laki-laki), dimintanya untuk segera datang ke rumah Risma.

Sembari menunggu kedatangan Edy, Murni berusaha menenangkan ketiga anak Risma, dan menanyakan pada Risma apa sebenarnya yang sedang terjadi terhadap mereka. Tapi Risma diam seribu Bahasa, serta tatatapannya tetap kosong ke arah pintu utama.

Murni mencoba memberi makan ketiga anak Risma sambil menuju ruang makan. Tetapi tak ada apa pun yang tersaji yang dapat untuk di makan. Dia buru-buru ke luar untuk membeli makanan.

Murni membagi makanan kepada ketiga anak-anak Risma dan menemaninya. Tampak ketiga anak-anak tersebut sangat lahap memakan makanan yang disajikan oleh tantenya. Berikutnya, Murni menyerahkan makanan pada Risma untuk dimakannya. Namun, lagi-lagi tak bergeming. Bahkan Murni mencoba untuk menyuapin kakaknya, tetapi tetap saja Risma tak bereaksi, tak bergeming.

Murni mulai gelisah. Dia berusaha bertanya kepada anak sulung Risma. Namun seketika itu, ketiga anak tersebut menangis dan berhamburan memeluk Risma. Murni pun tambah bingung. Hatinya pun tambah resah. Tak beberapa lama, Edy pun tiba.

Setelah mendengar penjelasan dari Murni, Edy duduk di samping Risma dan pela-pelan berusaha untuk berkomunikasi agar Risma bersedia menceritakan permasalahan yang sebenarnya. Bahkan dengan sedikit memaksa, Edy menyuapi Risma makan. Setelah memberi makan empat lima suap, Edy dengan hati-hati mulai menanyai Risma.

"Coba ito jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Edy.

Dengan pelan dan dingin Risma menjawab, "bapak anak-anak ini sudah tidak sayang lagi kepada kami, bahkan sudah seiring tidak pulang."

Bak disambar petir di siang bolong, Edy dan Murni terkejut mendapatkan jawaban dari Risma.

Awalnya, setahun yang lalu, Risma merasakan ada yang tak beres terhadap gelagat Gabe, suaminya. Tampak Gabe sudah tak ceria dan tak bersemangat ketika di rumah, berakting aneh, seperti menjauh dari anak-anak dan dirinya. Ada saja alasan agar Gabe ke luar rumah. Belakangan Gabe sering tidak pulang sampai berhari-hari, bahkan uang belanja bulanan pun sudah tidak diberikan ke Risma.

Puncaknya, ketika Risma mengetahui bahwa Gabe diam-diam telah memiliki seorang bayi hasil perkawinannya dengan wanita lain. Bak dihantam palu godam, Risma merasa sakit dan pahit menerima berita bahwa suaminya telah menghianatinya. Awalnya Risma tak percaya, namun ketika hal itu ditanyakanya langsung kepada Gabe, dan diiyakan, sejak saat itu psikologis, fisik maupun spritual Risma drop drastis. Sudah lebih satu bulan anak-anaknya tidak pergi sekolah dan Risma pun sudah lebih sebulan tidak pergi kerja sebagai guru agama (honorer) di Tangerang, Banten. Meskipun Risma seorang guru agama, tak terkecuali, spritualnya pun drop drastis, karena dia juga terbuat dari daging dan darah yang sama seperti semua orang.

Prahara rumah tangga Risma akhirnya dibawa dan diserahkan Edy kepada keluarga besar mereka. Dengan berbagai pertimbangan dan penuh kehati-hatian, telah dimusyawarahkan dan diputuskan agar Risma dan ketiga anak-anaknya dibawa "pulang" kepada keluarga besarnya.

Saat rombongan keluarga besar Edy tiba di rumah Rismah, setelah menjelaskan maksud dan tujuan mereka, spontan tubuh Risma terguncang ketika dia dan anak-anaknya tahu akan diboyong ke rumah Edy di Serpong. Sekujur tubuhnya terasa gemetar. Dia nyaris tak mampu hanya untuk berdiri menghadapi kenyataan bahwa dia akan nyata bercerai dengan suaminya. Dengan tenaga yang tersisa, dia peluk anak-anaknya dengan erat dan mereka pun saling berpelukan diikuti dengan suara tangisan, yang membuat suasana makin pilu dirasakan para keluarga besaranya.

Murni bersama beberapa saudaranya, bergegas membenahi dan menyiapkan seluruh pakaian dan barang-barang yang akan dibawa. Tiba-tiba, Risma menangis histeris. Dia meronta seakan tak bersedia diboyong keluarga besarnya. Dia merasa tidak siap menerima kenyataan akibat perbuatan suaminya. Spontan, Murni pun menangis lalu menghampiri dan memeluk Risma. Suluruh yang hadir nyata turut merasa terguncang dan getir, bahkan sampai meneteskan air mata, tak terkecuali Edy.

Mabalu dang martujung. Menjadi janda karena penghianatan adalah suatu yang sangat-sangat menyakitkan dan memalukan bagi perempuan Batak. Itulah kenyataan hidup yang dihadapi Risma atas perilaku buruk suaminya. Dia tidak meyangka bahwa umur perkawinannya hanya seumur jagung. Dia depresi, marah, takut dan malu, karena tiba-tiba harus menjadi janda.

Saat akan berangkat menuju Serpong, Risma terpaksa harus dituntun karena tubunya begitu lemah dan lunglai. Tiba-tiba Risma tidak sadarkan diri dan pingsan. Khawatir kondisinya semakin memburuk, Edy dan keluarga besarnya memutuskan untuk membawa Risma ke rumah sakit terdekat. ***

Sebagai ibu dari tiga orang anak, Risma sangat terpukul atas penghianatan suaminya. Dia benar-benar tidak siap ketika prahara atau petaka itu datang. Dia hanya seorang guru honorer. Gabe, suaminya bekerja dikawasan bandara Cengkareng. Tetapi mereka masih mengontrak rumah selama berkeluarga. Terkadang Risma heran dan bertanya-tanya mengapa mereka masih tetap ngontrak sementara teman-teman sekantor dan selevel suaminya sudah semua memiliki rumah walaupun sebagaian besar atas upaya koperasi kantor tempat mereka bekerja.

Hari-hari setelah diboyong ke Serpong, sungguh hari yang makin berat bagi Risma. Nyata dia makin depresi, merasa takut dan malu. Dia hanya melamun, merenung dan menangis. Berulang kali dia menatap wajah anak-anaknya. Sedikit pun tak terbesit dalam benaknya untuk menyerahkan ketiga anaknya diasuh oleh Gabe. Dia merasa makin tertekan dan sengsara jika hal itu sampai terjadi. Namun, dalam hatinya ada rasa pesimis, merasa tidak yakin akan bertahan hidup, dan merasa pesimis akan kemampuannya menelanjutkan kehidupan seorang diri dengan ketiga anaknya. Berulangkali nyaris rasa putus asa timbul dalam benaknya. Seketika itu Risma pun pingsan dan kembali dilarikan Edy ke rumah sakit terdekat, dan lebih seminggu harus dirawat inap.

Hari, minggu, bulan berlalu, Risma perlahan-lahan tersadar akan keterpurukannya. ANAKHONKI DO HAMORAON DI AHU, itulah kata-kata yang tiba-tiba timbul dalam benaknya dan sekaligus menyadarkannya dari lamunannya. Anakku adalah hartaku dan kekayaanku, kata itu seakan memberi tenaga baru untuknya. Perlahan-lahan dia bangkit agar diri dan anak-anaknya tidak terbenam dalam prahara yang lebih dalam. Dia yakin Tuhan itu Maha Baik. Risma pun yakin Tuhan akan menyertai setiap langkanya dan mencukupkan kebutuhan mereka. Untuk itu, dia berdoa dan berdoa, memohon ampun dan perlindungan dari Tuhan.

Perlahan-lahan, emosi negatif yang mengendap yang menyulitkan dirinya, dia buang jauh-jauh. Dia sadar betul akan anak-anaknya membutuhkan perhatian dan perlindungan. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasihnya kepada Edy, Risma mohon agar diijinkan mengontrak sebuah rumah tak jauh dari tempat tinggal Edy. Edy pun mengijinkan dan sangat setuju agar Risma dapat menata kembali kehidupan dan masa depan anak-anaknya. ***

Seiring berjalannya waktu, Jaitar, anak sulung Risma, telah tamat dari SMU. Suhubungan akan keinginan dan cita-cita Jaitar akan merantau, Risma pun mengijinkan dengan syarat harus terlebih dahulu SIDI atau malua. Untuk itu, Risma harus ke gereja di daerah Cengkareng, dimana mereka terdaftar sebagai jemaat. Tiba di gereja yang dituju, dia pun mengutarakan maksud dan tujuannya kepada penetua gereja tersebut. Sungguh tak disangka, ternyata keanggotaan mereka sebagai jemaat di gereja tersebut telah dihapus dengan alasan karena tidak membayar pelean atau persembahan bulanan. Dengan rasa kecewa dan lunglai, Risma pun kembali ke rumahnya. Dalam batinnya, "kami telah dibuang dari gereja."

Mengetahui Jaitar akan merantau, Edy merasa senang dan secara khusus pergi ke rumah Risma. Edy berpesan kepada Jaitar agar tekun dan sukses diperantauannya. Ketika Edy akan pamit, tiba-tiba Risma mengutarakan niatnya agar Jaitar terlebih dahulu SIDI. Edy pun setuju dan siap memfasilitasi di gereja terdekat yang sejenis walaupun tanpa ada surat keterangan pengantar dari gereja Cengkareng. Jaitar pun akhirnya SIDI dan merantau sesuai keinginannya. ***

Hidup memang tentang pilihan. Siapapun pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidupnya. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, namun hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya. Sembilan tahun berlalu, Risma akhirnya menentukan pilihan hidupnya. Dia menikah dengan seorang pria sebayanya, dan diberkati di Gereja dalam Persekutuan PGI di Sumatera Utara. Setelah menikah mereka kembali menetap di Serpong.

Tahun berikutnya, Risma berniat mendaftarkan keanggotaan agar menjadi jemaat di gereja terdekat di mana mereka tinggal, dan selanjutnya akan segera mendaftarkan anak keduanya agar ikut program belajar SIDI. Risma pun menyiapkan surat keterangan pengantar dari Gereja dalam Persekutuan PGI dari Sumatera Utara.

Saat Risma hendak mendaftar dengan menyerahkan berkas ke gereja yang dituju, saat itu juga penetua gereja dengan gamblang menolak dengan mengatakan, "Inang sudah menikah lagi, jadi gak bisa mendaftar di gereja ini."

Risma sangat kaget dan tubuhnya nyaris terhempas ke lantai. Dengan sekuat tenaga digapainya dinding untuk bersandar. Mulutnya terkatup rapat. Penetua gereja pun berlalu dari hadapannya. Dengan tertatih-tatih, bersusah payah, akhirnya Risma tiba di rumahnya. Dihempaskannya tubuhnya di sofa, dan seketika itu dia pun menangis meratapi dirinya.

"Sebegitu kotorkah seorang janda jika menikah lagi?!" teriak Risma dalam batinnya. "Janda is Janda, itukah tagline atau slogan gerejamu?! Tak adakah tempat di gerejamu bagi seorang janda yang menikah lagi?!" kata Risma makin menjerit dalam batinya. Seketika suaranya pelan dan bergetar mengucapkan asa di dalam hatinya. ***

Hari, minggu, bulan dan tahun berlalu. Malam itu, jam sepuluh malam lebih, ketika Risma akan beranjak tidur, Hpnya berdering. Dilihatnya dilayar, ternyata Jaitar , anak sulungnya, menelepon dari California, Amerika Serikat, lalu mereka pun gobrol. Selesai menanyakan kabar masing-masing, Jaitar menjelaskan bahwa bulan depan dia akan ke New Zealand dan akan menetap di sana selama tiga tahun, setelah itu dia akan ke Jakarta. Untuk itu, Jaitar berniat membelikan sebuah mobil untuk Risma. Mendengar itu, Risma merasa bersuka cita dan berniat membeli mobil "sejuta umat." Tetapi Jaitar mengharap agar ibunya berkenan dengan pilihannya, New Alphard.

True story....

Salam Sehat....

.

.

========

True story.

Hal yang sama terjadi di keluarga kami (penulis, Utjok Ganefo). Mamakku janda umur 36, sampai meninggal single parent. Faktanya saat itu, setiap mamakku pulang sore apalagi malam, ada saja yg menggunjingi, padahal pulang marengge2 dari pajak/pasar atau dari rumah family. Bahkan penetua yang di depan rumah kami sangat aktif dan cendrung agresif "mamata-matai'" bahkan hampir adu fisik sama kami karena sudah menjurus menghina dan fitnah.

Note.

Sebuah cerpen atau novel, lahir dari pengalaman, penglihatan, pendengaran dan hayalan. Dia akan menghasilkan sebuah hiburan dan/atau kritikan.

Jadi, jika ada yang mirip, jangan terlalu sensi atau baper, anggap saja masukan atau kritikan.

Lain hal jika menghujat instutisi atau pribadi seseorang.

Memang bicara tentang JANDA cukup menarik, bahkan bisa menjadi BOLA PANAS & LIAR ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun