Murni bersama beberapa saudaranya, bergegas membenahi dan menyiapkan seluruh pakaian dan barang-barang yang akan dibawa. Tiba-tiba, Risma menangis histeris. Dia meronta seakan tak bersedia diboyong keluarga besarnya. Dia merasa tidak siap menerima kenyataan akibat perbuatan suaminya. Spontan, Murni pun menangis lalu menghampiri dan memeluk Risma. Suluruh yang hadir nyata turut merasa terguncang dan getir, bahkan sampai meneteskan air mata, tak terkecuali Edy.
Mabalu dang martujung. Menjadi janda karena penghianatan adalah suatu yang sangat-sangat menyakitkan dan memalukan bagi perempuan Batak. Itulah kenyataan hidup yang dihadapi Risma atas perilaku buruk suaminya. Dia tidak meyangka bahwa umur perkawinannya hanya seumur jagung. Dia depresi, marah, takut dan malu, karena tiba-tiba harus menjadi janda.
Saat akan berangkat menuju Serpong, Risma terpaksa harus dituntun karena tubunya begitu lemah dan lunglai. Tiba-tiba Risma tidak sadarkan diri dan pingsan. Khawatir kondisinya semakin memburuk, Edy dan keluarga besarnya memutuskan untuk membawa Risma ke rumah sakit terdekat. ***
Sebagai ibu dari tiga orang anak, Risma sangat terpukul atas penghianatan suaminya. Dia benar-benar tidak siap ketika prahara atau petaka itu datang. Dia hanya seorang guru honorer. Gabe, suaminya bekerja dikawasan bandara Cengkareng. Tetapi mereka masih mengontrak rumah selama berkeluarga. Terkadang Risma heran dan bertanya-tanya mengapa mereka masih tetap ngontrak sementara teman-teman sekantor dan selevel suaminya sudah semua memiliki rumah walaupun sebagaian besar atas upaya koperasi kantor tempat mereka bekerja.
Hari-hari setelah diboyong ke Serpong, sungguh hari yang makin berat bagi Risma. Nyata dia makin depresi, merasa takut dan malu. Dia hanya melamun, merenung dan menangis. Berulang kali dia menatap wajah anak-anaknya. Sedikit pun tak terbesit dalam benaknya untuk menyerahkan ketiga anaknya diasuh oleh Gabe. Dia merasa makin tertekan dan sengsara jika hal itu sampai terjadi. Namun, dalam hatinya ada rasa pesimis, merasa tidak yakin akan bertahan hidup, dan merasa pesimis akan kemampuannya menelanjutkan kehidupan seorang diri dengan ketiga anaknya. Berulangkali nyaris rasa putus asa timbul dalam benaknya. Seketika itu Risma pun pingsan dan kembali dilarikan Edy ke rumah sakit terdekat, dan lebih seminggu harus dirawat inap.
Hari, minggu, bulan berlalu, Risma perlahan-lahan tersadar akan keterpurukannya. ANAKHONKI DO HAMORAON DI AHU, itulah kata-kata yang tiba-tiba timbul dalam benaknya dan sekaligus menyadarkannya dari lamunannya. Anakku adalah hartaku dan kekayaanku, kata itu seakan memberi tenaga baru untuknya. Perlahan-lahan dia bangkit agar diri dan anak-anaknya tidak terbenam dalam prahara yang lebih dalam. Dia yakin Tuhan itu Maha Baik. Risma pun yakin Tuhan akan menyertai setiap langkanya dan mencukupkan kebutuhan mereka. Untuk itu, dia berdoa dan berdoa, memohon ampun dan perlindungan dari Tuhan.
Perlahan-lahan, emosi negatif yang mengendap yang menyulitkan dirinya, dia buang jauh-jauh. Dia sadar betul akan anak-anaknya membutuhkan perhatian dan perlindungan. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasihnya kepada Edy, Risma mohon agar diijinkan mengontrak sebuah rumah tak jauh dari tempat tinggal Edy. Edy pun mengijinkan dan sangat setuju agar Risma dapat menata kembali kehidupan dan masa depan anak-anaknya. ***
Seiring berjalannya waktu, Jaitar, anak sulung Risma, telah tamat dari SMU. Suhubungan akan keinginan dan cita-cita Jaitar akan merantau, Risma pun mengijinkan dengan syarat harus terlebih dahulu SIDI atau malua. Untuk itu, Risma harus ke gereja di daerah Cengkareng, dimana mereka terdaftar sebagai jemaat. Tiba di gereja yang dituju, dia pun mengutarakan maksud dan tujuannya kepada penetua gereja tersebut. Sungguh tak disangka, ternyata keanggotaan mereka sebagai jemaat di gereja tersebut telah dihapus dengan alasan karena tidak membayar pelean atau persembahan bulanan. Dengan rasa kecewa dan lunglai, Risma pun kembali ke rumahnya. Dalam batinnya, "kami telah dibuang dari gereja."
Mengetahui Jaitar akan merantau, Edy merasa senang dan secara khusus pergi ke rumah Risma. Edy berpesan kepada Jaitar agar tekun dan sukses diperantauannya. Ketika Edy akan pamit, tiba-tiba Risma mengutarakan niatnya agar Jaitar terlebih dahulu SIDI. Edy pun setuju dan siap memfasilitasi di gereja terdekat yang sejenis walaupun tanpa ada surat keterangan pengantar dari gereja Cengkareng. Jaitar pun akhirnya SIDI dan merantau sesuai keinginannya. ***
Hidup memang tentang pilihan. Siapapun pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidupnya. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, namun hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya. Sembilan tahun berlalu, Risma akhirnya menentukan pilihan hidupnya. Dia menikah dengan seorang pria sebayanya, dan diberkati di Gereja dalam Persekutuan PGI di Sumatera Utara. Setelah menikah mereka kembali menetap di Serpong.
Tahun berikutnya, Risma berniat mendaftarkan keanggotaan agar menjadi jemaat di gereja terdekat di mana mereka tinggal, dan selanjutnya akan segera mendaftarkan anak keduanya agar ikut program belajar SIDI. Risma pun menyiapkan surat keterangan pengantar dari Gereja dalam Persekutuan PGI dari Sumatera Utara.