"POKOKNYA MIGGU DEPAN TITIK!" Ia berteriak di ujung telepon.
Seketika darahku mendidih, "OH SUPAYA MAMA PUNYA KESEMPATAN UNTUK MENERIMA PUJIAN DARI KOH? SUPAYA MAMA TIDAK KEHILANGAN MUKA? SUPAYA MAMA DISEBUT BERTANGGUNGJAWAB? Â SAYA MALU MA HIDUP KARENA DIKASIHANI ORANG. MULAI SEKARANG SAYA AKAN MEMBIAYAI DIRIKU SENDIRI. Sejurus kemudian saya menutup telepon.
Sejak saat itu aku mencari pekerjaan dan mebiayai kuliahku sendiri. Aku menerimanya. Aku membuktikan bahwa aku tak butuh dikasihani. Aku mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Sejak saat itu juga, mama tak pernah lagi meneleponku lagi. Jujur, aku rindu mama. Aku rindu mendengar suaranya. Tapi rasa rindu itu terhimpit oleh gengsiku yang besar. Aku mulai kehilangan mama.
***
Kuliahku selesai tepat waktu. Aku pulang ke rumah. Aku bertemu dengan papa dan adik-adikku. Tapi mama tidak ada. "Mama di mana?" Raut wajah adik-adikku menjadi tegang. Papa kemudian menyerahkan sepenggal surat.
Ka,
Suatu subuh mama pulang kerja. Pria beristri yang barusan tidur dengan Mama mengingkari janjinya untuk menikahi Mama. Ia memukul dan menganiaya Mama. Mama pulang dengan hati yang hancur dan tubuh remuk. Mama kehilangan orang yang mama cintai. Mama kehilangan muka. Mama kehilangan martabat sebagai seorang wanita. Jangan Ka tanyakan soal Keluarga? Mama hanya sebatang kara.
Dari dulu sudah begitu. Oh..... lengkaplah sudah penderitaan mama.....Kalau sudah begitu apa gunanya hidup? Subuh itu mama hanya berpikir untuk mengakhiri hidup. Bagaimana cara yang manis untukmelakukannya? Supaya setidaknya  mama pernah merasa manis di akhir hidup ini. Jembatan jalan masuk kampung kita, itu tempat yang indah untuk mati.
Tepat di depan jembatan itu, mama melihat ada kardus di pinggir jalan dan mendengar suara tangisan bayi. Mama mendekati kardus itu dan menemukan bayi tampan di sana. Ia sebatang kara sama seperti mama. Mama mengangkat bayi itu dan menggendongnya. Bayiitu diam.Mama kemudian membawa pulang bayi itu.
Ka