Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Poros Saudi-Turki-Israel, Canggung namun Meyakinkan

17 Februari 2016   13:23 Diperbarui: 17 Februari 2016   14:16 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, hubungan mereka terkadang pasang surut, apalagi terkait penyerangan pasukan laut Israel ke kapal Mavi Marmara yang melakukan aksi simpati pada Palestina, 2010 lalu. Namun sebenarnya, protes Turki kepada Israel hanya sebatas formalitas semata.

Februari ini, politikus Turki, Omer Celik, menyatakan pembicaraan antara Turki - Israel telah mencapai tingkatan di mana mereka bersiap untuk melakukan rekonsiliasi. Di sisi lain, Turki berharap Israel dapat membuka blokade terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Meski demikian kepentingan Turki selalu menjadi prioritas. Bila Israel memberikan kompensasi terhadap korban Turki tragedi Mavi Marmara, Istanbul memberi jaminan akan menghentikan jaringan teror menuju Israel, juga mengusir pimpinan senior Hamas, Salah Al Arouri, yang dituding bertanggungjawab atas tewasnya tiga warga Israel. Saat ini Arouri menjadi pengungsi di Istanbul.

Tentunya, hubungan buruk antara Turki - Rusia, memperkuat hubungan Ankara dengan Tel Aviv. Turki harus mencari sumber energi gas alternatif selain dari Moscow, dan Israel merupakan solusi terdekat serta tercepat.

Pada akhir Desember 2015, setelah pulang dari kunjungan ke Arab Saudi, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan pentingnya hubungan dengan Israel. "Israel membutuhkan negara seperti Turki di kawasan. Kita juga harus menerima kenyataan, bahwa kita juga membutuhkan Israel," ujar Erdogan.

Sebenarnya, Erdogan cukup dekat dengan rezim Iran, namun campur tangan Iran di Suriah dan Yaman, membuat Erdogan sadar Turki bisa dalam posisi bahaya, terutama pemanfaatan separatis Kurdi oleh blok Iran.

Menjadi kepentingan bersama Ankara - Tel Aviv, untuk dapat menghentikan militan ISIS dan juga melebarnya pergerakan separatis Kurdi. Meski sebenarnya ISIS dan Kurdi hanyalah pion, masing-masing dalam batasan tertentu disetir oleh Saudi dan Iran.

Kuatan Moscow dalam medan perang Suriah juga menjadi pengamatan Erdogan, tampak bahwa negara beruang merah tersebut berniat mendirikan pangkalan militer jika Bashar Al Assad berhasil melumpuhkan semua oposisi di Suriah. Ini sangat berisiko, Turki tetangga Suriah merupakan pintu masuk Eropa, dan NATO sudah geram atas Rusia yang telah mencaplok sebagian benua tersebut.

Aktifitas Rusia di Suriah, oleh Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu, disebut seperti organisasi teroris, karena melakukan pengeboman yang membabi buta, mengakibatkan banyak korban sipil tewas.

Manuver terakhir yang dilakukan Turki adalah menerima armada udara Arab Saudi berpangkalan di Istanbul. Sementara Israel bisa saja yakin untuk menyerang Iran, namun Tel Aviv masih belum menunjukkan niat bekerjasama untuk menyerang Suriah.

Tentunya Israel menerapkan strategi "wait and see", apalagi jelas menyerang Suriah sesuai ultimatum Rusia dapat mengakibatkan perang dunia III. Israel menunggu reaksi USA dan kelompok NATO, tanpa dua kekuatan ini, menyerang Suriah adalah bunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun