[caption caption="ilustrasisumber: sayyidali.com_"][/caption]Saat menghadapi ancaman yang sama, bahkan para seteru pun akan saling bekerja sama. Inilah yang terjadi pada Saudi, Turki, dan Israel, ancaman dominasi Iran dan hegemoni Rusia atas kawasan Timur Tengah, membuat mereka saling bekerjasama, baik kasat mata maupun di balik tirai.
Situasi kawasan memang semakin genting, perang berdarah terus terjadi di Suriah, Yaman, dan Iraq. Perebutan pengaruh antara Saudi dan Iran, telah menembus fase yang dapat melahirkan perang dunia III.
Perang global suatu keniscayaan jika tidak ditemukan titik temu kesepakatan antara Saudi-Iran. Parahnya, masing-masing memiliki beking raksasa, di mana Amerika Serikat-Uni Eropa di belakang Riyadh sementara Rusia-China di balik Teheran.
Baik Arab Saudi maupun Turki, secara langsung telah mendapat tekanan dari Rusia dan pengaruh Iran di Kawasan. Paska ditembak jatuhnya pesawat tempur Rusia di ruang udara Turki, tensi antara Ankara dan Moscow cukup tinggi.
Sementara Arab Saudi tampak sudah hilang kesabaran atas campur tangan Iran. Hubungan keduanya semakin membara setelah rumah Al Saud mengeksekusi mati ulama Syiah, Al Nimr, yang dibalas pembakaran gedung kedutaan Arab Saudi oleh massa Iran.
Tak berbeda, Israel juga melihat Iran sebagai ancaman di kawasan, apalagi setelah negeri para Mullah tersebut terang-terangan menyatakan akan menghapus Israel dari peta dunia. Bagi Tel Aviv dan Riyadh, ambisi nuklir Teheran merupakan ancaman serius.
Kekuatan Iran-lah yang menggerakan kelompok Hezbulloh untuk menyerang Israel. Hezbulloh juga menciptakan konflik sektarian di Libanon. Blok Saudi menuding Hezbulloh dengan didukung Suriah dan Iran, telah bertanggungjawab atas tewasnya mantan Perdana Menteri Libanon, Rafic Hariri, dalam ledakan 2005 lalu.
Pengaruh Iran juga memecahkan perjuangan rakyat Palestina, beberapa tahun belakangan kekuatan Hamas di Jalur Gaza mendapat suport dari blok Iran, sementara basis PLO dalam Otoritas Palestina di Tepi Barat mendapat dukungan blok Saudi.
Arab Saudi juga merasa terganggu karena sentuhan Iran pada pasukan Al Houti Yaman. Stabilitas tetangga Saudi terganggu, yang dapat menjalar sampai rumah Al Saud.
Sementara untuk Turki, negara yang kategori Eropa ini, harus menjaga eksistensi negaranya dari separatis Kurdi. Pasukan Kurdi sendiri seakan bebas bergerak di Suriah, Yaman, dan Iraq. Turki menganggap negara-negara tersebut mensponsori kem-kem separatis Kurdi.
Kemelut pun tak terhindari, prahara berkepanjangan mulai merambat, dari Suriah dan Yaman, juga konflik sektarian di Iraq yang tak kunjung padam.
Lima tahun konflik Suriah telah menewaskan sedikitnya 250 ribu jiwa, menurut PBB. Namun estimasi dari banyak organisasi kemanusiaan adalah korban perang Suriah telah mencapai 500 ribu jiwa. Sementara 4,6 juta warganya menjadi pelarian di negeri asing. Perang di Timur Tengah sedikitnya menelan 4 juta korban jiwa sejak 1990.
Terbaru, wilayah arab semakin membara dengan ultimatum Rusia akan terjadinya perang dunia III jika blok Saudi mengirim pasukan tempur darat ke Suriah. Situasi yang panas tentu memicu banyak manuver, termasuk hubungan Saudi-Turki-Israel.
- Saudi-Israel -
Secara resmi, Arab Saudi selalu menyatakan tidak memiliki hubungan dengan Israel, namun tak dapat dipungkiri banyak kerjasama antara keduanya jika menyangkut musuh bersama, Iran.
Ibarat biasa disebut netizen di media sosial sebagai "in complicated relationship", demikianlah hubungan Riyadh - Tel Aviv. Berhubungan terbuka dengan Israel tentu akan berpengaruh pada citra politik yang negatif, ini berlaku hampir pada semua negara Arab. Namun kenyataannya, secara intelijen, ekonomi, militer, dan keamanan, mereka saling membutuhkan.
Pada awal 2010, ketika Israel mengancam akan menyerang fasilitas nuklir Iran, Arab Saudi membuka ruang udaranya selama 2 hari, yang dikatakan Al Saud sedang melakukan latihan sistem pertahanan udara. Namun sebenarnya memberikan kesempatan pada Israel untuk menyerang Iran.
Saudi berharap Israel melakukan serang udara pada fasilitas nuklir Iran, baik menggunakan pesawat ataupun drone. Namun tentu saja Washington tidak menyetujui skenario tersebut, karena akan ada reaksi balasan dari Iran, yang dapat memperparah situasi kawasan.
Pada 2014, setidaknya Arab Saudi-Israel mengadakan lima kali pertemuan rahasia. Pertemuan yang membahas cara untuk menangani ambisi nuklir Iran, pada Juni 2015 pertemuan tersebut terungkap dalam forum "Council on Foreign Relations" di Amerika serikat.
Setelah aksi pembakaran kedutaan Arab Saudi di Teheran awal Januari 2016, politisi yang juga anggota parlemen Israel, Yzipi Livni, secara terbuka menyatakan dibutuhnya aliansi Israel dengan negara teluk. "Kita memiliki kesamaan pemahaman di kawasan. Ini merupakan dasar untuk suatu aliansi," tukas Livni.
Sebenarnya pernyataan Livni merupakan penegasan akan hubungan Saudi-Israel yang memang sudah terjadi. Harian Eilat pada 2013 pernah melaporkan bahwa pimpinan intelijen Israel, Tamir Pardo, melakukan pertemuan dengan pimpinan intelijen Arab Saudi, Pangeran Bandar.
Harian Sunday Times menindak lanjuti kabar tersebut dan mengeluarkan laporan bahwa Riyadh-Tel Aviv merencanakan kampanye perang terhadap Iran. Di sini juga terungkap Saudi pernah membuka ruang udara bagi pesawat atau drone Israel.
Keduanya tak hanya berkoordinasi secara intelijen, namun Al Saud secara aktual mendanai Israel bagi memerangi Iran. Pendanaan tersebut digunakan seperti untuk sabotase pangkalan misil IRG Iran, pembuatan teknologi komputer untuk senjata Cyber seperti Stuxnet dan Flame.
Bahkan dana tersebut diduga kuat juga untuk mengembangkan bom anti bunker serta modifikasi pesawat yang memiliki kemampuan bolak-balik dari Israel - Iran. Analis Barry Lando pada Oktober 2012, menjelaskan besaran suport dana dari Saudi untuk Israel diperkirakan sebesar 1 miliar Dolar.
Selain beberapa laporan di atas, beberapa diplomasi faktual juga dapat menjadi acuan, seperti beralihnya Sudan mendukung Arab Saudi dengan bergabung dalam koalisi Arab, dan menghentikan hubungan dengan Iran. Dengan diplomasi uang Saudi memasukkan deposit 1 miliar Dolar, Qatar 1,22 miliar Dolar, ke Bank Sentral Sudan.
Setelah kembali berkiblat ke Saudi, pada pertengahan Januari lalu Sudan membuka kontak dengan Israel untuk normalisasi hubungan "terbatas". Dalam laporan tak resmi, diketahui Saudi melakukan investasi pembangunan dam di Sudan senilai 7,1 miliar Riyal dan Israel masuk dalam kerjasama konstruksi tersebut.
Sebenarnya tidaklah sulit untuk mendeteksi aktifitas Saudi - Israel, jika menyimak tentang tewasnya Christopher Cramer di Arab Saudi 2015 lalu, Riyadh menyatakan Cramer tewas bunuh diri. Cramer adalah insinyur senjata USA yang bekerja pada perusahaan senjata Israel, Elbit System. Menjadi tanda tanya besar keberadaannya di Arab Saudi.
Penyebab kematian Cramer yang dinyatakan Saudi bertolak belakang dengan hasil outopsi ahli patologi forensik Dr Michael Baden, yang menyatakan Cramer menderita banyak bekas pukulan sebelum menghembuskan nafas.
Siapakah pembunuh Cramer? Bisa saja agen Iran, atau bahkan warga Saudi yang berafiliasi dengan Iran, bahkan bisa jadi ia korban persaingan pabrikan senjata, tidak ada yang tahu pasti.
Selain itu, Peristiwa-peristiwa yang tidak lajim, pantas menjadi perhatian adalah, betapa intensnya media Arab Saudi melakukan interview dengan para pejabat dan menteri Israel, hal yang dahulunya adalah "imposible". Penerimaan media merupakan simbol atas suatu hubungan.
Belum lama seorang menteri Israel, Ze'ev Elkin, berbicara pada pada situs berita Saudi, Elaph, mengenai dicabutnya sanksi atas Iran. Ketika ditanyakan mengenai negosiasi antara Israel dengan negara Arab, Elkin menjawab "Negara-negara tersebut akan memutuskan jika mereka menginginkan hubungan,". Sebelumnya Riyadh juga memberi panggung media kepada pejabat Kementrian Luar Negeri Israel, Dore Gold, serta mantan Duta Besar Israel untuk USA, Michael Oren.
- Turki - Israel -
Sementara untuk hubungan antara Turki dan Israel, lebih mudah dijelaskan, apalagi Turki merupakan satu negara yang mengakui Israel secara diplomatik, selain Turki, Jordania juga mengakui Israel. Jadi kerjasama bentuk apapun antara Turki - Israel bukan hal tabu.
Memang, hubungan mereka terkadang pasang surut, apalagi terkait penyerangan pasukan laut Israel ke kapal Mavi Marmara yang melakukan aksi simpati pada Palestina, 2010 lalu. Namun sebenarnya, protes Turki kepada Israel hanya sebatas formalitas semata.
Februari ini, politikus Turki, Omer Celik, menyatakan pembicaraan antara Turki - Israel telah mencapai tingkatan di mana mereka bersiap untuk melakukan rekonsiliasi. Di sisi lain, Turki berharap Israel dapat membuka blokade terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Meski demikian kepentingan Turki selalu menjadi prioritas. Bila Israel memberikan kompensasi terhadap korban Turki tragedi Mavi Marmara, Istanbul memberi jaminan akan menghentikan jaringan teror menuju Israel, juga mengusir pimpinan senior Hamas, Salah Al Arouri, yang dituding bertanggungjawab atas tewasnya tiga warga Israel. Saat ini Arouri menjadi pengungsi di Istanbul.
Tentunya, hubungan buruk antara Turki - Rusia, memperkuat hubungan Ankara dengan Tel Aviv. Turki harus mencari sumber energi gas alternatif selain dari Moscow, dan Israel merupakan solusi terdekat serta tercepat.
Pada akhir Desember 2015, setelah pulang dari kunjungan ke Arab Saudi, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan pentingnya hubungan dengan Israel. "Israel membutuhkan negara seperti Turki di kawasan. Kita juga harus menerima kenyataan, bahwa kita juga membutuhkan Israel," ujar Erdogan.
Sebenarnya, Erdogan cukup dekat dengan rezim Iran, namun campur tangan Iran di Suriah dan Yaman, membuat Erdogan sadar Turki bisa dalam posisi bahaya, terutama pemanfaatan separatis Kurdi oleh blok Iran.
Menjadi kepentingan bersama Ankara - Tel Aviv, untuk dapat menghentikan militan ISIS dan juga melebarnya pergerakan separatis Kurdi. Meski sebenarnya ISIS dan Kurdi hanyalah pion, masing-masing dalam batasan tertentu disetir oleh Saudi dan Iran.
Kuatan Moscow dalam medan perang Suriah juga menjadi pengamatan Erdogan, tampak bahwa negara beruang merah tersebut berniat mendirikan pangkalan militer jika Bashar Al Assad berhasil melumpuhkan semua oposisi di Suriah. Ini sangat berisiko, Turki tetangga Suriah merupakan pintu masuk Eropa, dan NATO sudah geram atas Rusia yang telah mencaplok sebagian benua tersebut.
Aktifitas Rusia di Suriah, oleh Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu, disebut seperti organisasi teroris, karena melakukan pengeboman yang membabi buta, mengakibatkan banyak korban sipil tewas.
Manuver terakhir yang dilakukan Turki adalah menerima armada udara Arab Saudi berpangkalan di Istanbul. Sementara Israel bisa saja yakin untuk menyerang Iran, namun Tel Aviv masih belum menunjukkan niat bekerjasama untuk menyerang Suriah.
Tentunya Israel menerapkan strategi "wait and see", apalagi jelas menyerang Suriah sesuai ultimatum Rusia dapat mengakibatkan perang dunia III. Israel menunggu reaksi USA dan kelompok NATO, tanpa dua kekuatan ini, menyerang Suriah adalah bunuh diri.
Bagaimanapun, kekuatan Rusia dan Amerika Serikat lah yang akhirnya paling berpengaruh. Jika keduanya sepakat untuk menarik campur tangan atas suriah, maka Rezim Bashar Al Assad dapat terguling dalam hitungan hari, bahkan tanpa perlu serangan dari kubu Arab Saudi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H