Tempat itu ada di pinggiran kota, jadi tidak terlalu bising. Tanahnya sangat luas. Di depannya ada sebuah taman kota yang cukup asri. Di sebelah taman ada sebuah bangunan yang cukup besar. Masyarakat setempat menjadikannya sebagai tempat untuk anak-anak belajar mengaji. Jadi, bisa dibilang, tempat itu cukup kondusif.
Orang-orang yang memutuskan untuk bekerja sama dengan Pras terlihat cukup puas. Pras sendiri merasa lega karena cukup banyak yang membantu dan mendukungnya mewujudkan cita-cita, meski mereka tidak pernah tahu, apa yang menjadi motif Pras yang sesungguhnya.
Sekitar pukul empat sore, orang-orang itu berpamitan. Tinggallah Pras sendirian. Ia lalu melangkahkan kaki menuju ke taman di seberang jalan.
Sepi. Itulah yang dirasakan Pras saat ini. Ia sedang duduk sendirian di bangku taman sambil menikmati sejuknya udara di tempat itu sebelum kembali membelah jalan, menerjang kepulan polusi yang seolah tak akan pernah habis menggerogoti rongga paru-paru mereka.
Untuk yang ke sekian kalinya, Pras merasakan jiwanya kosong
"Om, kok melamun? kata Umi, kita gak boleh melamun di sembarang tempat, nanti ada orang jahat."
Sebuah suara imut nan menggemaskan tiba-tiba mengagetkan Pras. Seketika, lamunannya ambyar. Lelaki muda itu tertegun sejenak.
"Bukankah ini gadis yang kemarin?" batin Pras.
Entah mengapa pemuda yang sudah matang itu merasa bahagia, seolah hatinya yang kosong sedikit terisi dengan kelucuan dan keluguan gadis itu. Sejak perjumpaan pertama waktu itu, jujur Pras tidak pernah bisa melupakannya. Bukan karena nama gadis itu yang mirip dengan namanya. Namun .... Entahlah, ada sesuatu yang membuat Pras tidak pernah berhenti memikirkan. Ia sendiri juga heran, kenapa akhir-akhir ini dirinya sangat menyukai anak-anak.
"Mungkin memang sudah waktunya bagiku untuk menikah,"Â pikir Pras.
"Om, kok bengong?" celetuk Prasti, sekali lagi membuat Pras tersentak.