Mohon tunggu...
Lenterasenja berpijar
Lenterasenja berpijar Mohon Tunggu... Novelis - Wiraswasta

Penulis novel, Editor, Penerbit Indie

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sepotong Hati untuk Prasasti (Bagian 3)

13 Maret 2024   06:31 Diperbarui: 13 Maret 2024   06:33 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sepotong Hati untuk Prasasti

Bagian 3 (Pertemuan Kedua)

Pohon itu bernama kerinduan. Menancap kokoh, terpatri di sanubari. Meski saat ini belum bersemi, tak akan pernah goyah, apalagi mati. Sungguh, hati yang merindu tak akan kenal waktu. Aku menunggu, aku merindu. Kapankah rasa ini berlagu? Kuberikan setiaku ini
Hanya kepadamu
(Pras)

***

"Pak Pras, bagaiamana kalau kita meninjau lokasi setelah rapat ini selesai?" usul Pak Hari setelah Pras menjelaskan betapa strategisnya tempat yang akan dijadikan sekolah murah nanti. Saat itu, mereka sedang rapat mengenai proyek tersebut.

"Saya juga penasaran dengan tempatnya, Pak Pras," timpal Pak Rudi.

Mereka berdua dengan tiga orang lainnya adalah segelintir orang baik di antara orang-orang kaya yang serakah. Dulu mereka juga orang yang kurang mampu. Berkat kebaikan orang lain, mereka bisa mengenyam pendidikan tinggi hingga menjadi orang sukses sampai sekarang. Nyatanya, mereka tidak pernah lupa akan kulitnya.

Sebenarnya mendirikan sekolah berkualitas dengan biaya murah untuk masyarakat kurang mampu adalah cita-cita Pras dan Laras sejak dulu. Meski sekarang ini mereka tidak lagi bersama, tetapi keinginan itu tidak pernah pupus dari benak Pras, justru semakin menggebu-gebu seiring dengan kerinduan Pras yang semakin memuncak pada gadis itu.

Kebetulan, Pras bertemu dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang sama. Gayung bersambut, mereka menerima tawaran Pras untuk bekerja sama.

"Baiklah, kita akan ke sana setelah rapat ini selesai," jawab Pras.

***

Tempat itu ada di pinggiran kota, jadi tidak terlalu bising. Tanahnya sangat luas. Di depannya ada sebuah taman kota yang cukup asri. Di sebelah taman ada sebuah bangunan yang cukup besar. Masyarakat setempat menjadikannya sebagai tempat untuk anak-anak belajar mengaji. Jadi, bisa dibilang, tempat itu cukup kondusif.

Orang-orang yang memutuskan untuk bekerja sama dengan Pras terlihat cukup puas. Pras sendiri merasa lega karena cukup banyak yang membantu dan mendukungnya mewujudkan cita-cita, meski mereka tidak pernah tahu, apa yang menjadi motif Pras yang sesungguhnya.

Sekitar pukul empat sore, orang-orang itu berpamitan. Tinggallah Pras sendirian. Ia lalu melangkahkan kaki menuju ke taman di seberang jalan.

Sepi. Itulah yang dirasakan Pras saat ini. Ia sedang duduk sendirian di bangku taman sambil menikmati sejuknya udara di tempat itu sebelum kembali membelah jalan, menerjang kepulan polusi yang seolah tak akan pernah habis menggerogoti rongga paru-paru mereka.

Untuk yang ke sekian kalinya, Pras merasakan jiwanya kosong

"Om, kok melamun? kata Umi, kita gak boleh melamun di sembarang tempat, nanti ada orang jahat."

Sebuah suara imut nan menggemaskan tiba-tiba mengagetkan Pras. Seketika, lamunannya ambyar. Lelaki muda itu tertegun sejenak.

"Bukankah ini gadis yang kemarin?" batin Pras.

Entah mengapa pemuda yang sudah matang itu merasa bahagia, seolah hatinya yang kosong sedikit terisi dengan kelucuan dan keluguan gadis itu. Sejak perjumpaan pertama waktu itu, jujur Pras tidak pernah bisa melupakannya. Bukan karena nama gadis itu yang mirip dengan namanya. Namun .... Entahlah, ada sesuatu yang membuat Pras tidak pernah berhenti memikirkan. Ia sendiri juga heran, kenapa akhir-akhir ini dirinya sangat menyukai anak-anak.

"Mungkin memang sudah waktunya bagiku untuk menikah," pikir Pras.

"Om, kok bengong?" celetuk Prasti, sekali lagi membuat Pras tersentak.

Awalnya, lelaki muda itu bingung, dari mana gadis itu muncul. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, hanya saja tidak tampak siapa pun di sekitar tempat itu.

"Jangan-jangan, gadis ini kabur lagi," pikir Pras.

"Om." Gadis itu kembali memanggil. Kali ini satu oktaf lebih tinggi dari yang pertama.

"Eh ... maaf, Prasti. Om tadi sedang memikirkan sesuatu. Prasti, apa kabar?" tanya Pras sambil mengusap pucuk kepala gadis itu.

"Alhamdulillah, Prasti baik, Om," jawab Prasti dengan sedikit cedal. Muka gadis itu bulat dengan pipi agak tembem membuat Pras semakin gemas.

"Prasti sedang apa di sini? Sama siapa? Hati-hati, loh, kalau main jangan jauh-jauh, nanti kalau dibawa orang, bagaimana?" cerocos Pras dengan nada khawatir.

Tindakannya itu membuat Prasti tertawa senang.

"Jangan khawatir, Om. Prasti ke sini sama Umi."

"Trus Umi Prasti mana?" tanya Pras sambil celingukan sekali lagi.

"Umi sedang mengajar anak-anak mengaji, Om. Tuh ... Denger, kan, suaranya dari sini?"

Pras menajamkan telinganya. Memang, lamat-lamat pemuda itu mendengar suara wanita yang sedang mengajar di TPQ tak jauh dari tempat mereka berada, tepat di seberang lokasi sekolah murah miliknya.

"Tapi, di taman ini tidak ada orang, tetap saja berbahaya. Kalau ada orang jahat, bagaimana? Lagipula, kenapa Prasti tidak ngaji juga? Teman-teman kamu kan pada ngaji semuanya?" tanya Pras khawatir.

"Prasti sudah ngaji, Om. Sekarang Prasti bosan. Prasti sudah izin sama Umi, kok." Sekali lagi, gadis kecil itu menjawab tanpa merasa bersalah.

Dalam hati, Pras agak jengkel juga, kok bisa Umi Prasti mengizinkan gadis imut yang lucu ini keluar sendirian. Ia saja yang bukan siapa-siapanya sempat khawatir. Bagaimana pun, gadis itu mudah membuat orang jatuh cinta. Jujur, kalau dibolehkan, ia sendiri yang akan membawa gadis itu pulang. Ibunya pasti akan dengan senang hati menerima.

Eh ... Sebenarnya yang jadi penjahat di sini siapa? Pras merutuki kekonyolannya.

Dua insan berlainan jenis beda generasi itu pun berbincang dan bercanda hingga akhirnya, terdengar suara gaduh anak-anak dari arah TPQ.

"Itu anak-anak sudah selesai. Prasti ke sana dulu, Om, nanti Umi cari," kata Prasti.

Tanpa menunggu jawaban Pras, gadis kecil itu langsung melesat pergi.

Dari jauh, tampak anak-anak berhamburan keluar. Ada yang jalan kaki, ada yang naik sepeda, ada yang dijemput orang tua masing-masing.

Antusiasme mereka tampak luar biasa dan patut diacungi jempol. Di tengah arus islamofobia yang semakin gencar, ternyata masih banyak orang yang peduli dan antusias mendorong dan mengawal anak-anak mereka belajar Al-Qur'an.

Pras sendiri merasa malu. Waktu kecil ia hanya belajar Al-Qur'an sekadarnya. Ia baru belajar sungguhan beberapa tahun yang lalu ketika dirinya betul-betul sudah hijrah. Itu pun saat di negeri orang, tepatnya ketika menimba ilmu di negeri kangguru. Ironis, memang.

Pras menghela napas. Suasana di halaman TPQ sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa anak dan guru pengajar. Sudut mata Pras yang tajam sempat menangkap bayangan mungil yang sedang menarik-narik tangan seorang wanita bergamis. Tingkahnya lucu dan menggemaskan sekali membuat pemuda itu tersenyum sendiri.

Wanita itu pun tampak menyudahi percakapan dengan temannya kemudian mengikuti ajakan anaknya berjalan menuju tempat parkir. Sebuah sepeda listrik menjadi tujuan mereka.

Kebetulan sekali sepeda itu menghadap ke arah Pras. Secara otomatis, sang pemilik juga menghadap ke arah Pras saat ingin menaikinya hingga lelaki itu bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya.

_Bersambung_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun