Sepotong Hati untuk Prasasti
Bagian 2. Di Bawah Bayang-Bayang Dosa
Malam semakin larut. Pras segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu bergegas ke tempat tidur. Besok pagi ia ada janji dengan beberapa kolega untuk meninjau lokasi pembangunan sekolah idamannya. Itu sebabnya, malam itu ia harus betul-betul menghemat tenaga.
Namun, pemuda itu tidak bisa memicingkan mata sedetik pun. Sekali lagi kata-kata ibunya terngiang di gendang telinga.
"Ibu pingin sekali menimang cucu, Pras. Kamu gak kasihan sama ayah dan ibumu yang sudah tua ini?" rengek Bu Iren untuk yang ke sekian kalinya.
Kalau dulu, Pras tak peduli dan menganggap angin lalu setiap mendengar rengekan seperti itu, tetapi kini berbeda. Pemuda ganteng itu menyadari, kini dirinya tak lagi muda.
Sejujurnya ia juga sangat kesepian. Dari lubuk hati terdalam, Pras juga ingin membina rumah tangga. Namun, gadis itu, yang selalu menghantui pikirannya itu belum juga dia temukan. Pras sudah mencari di banyak tempat yang sekiranya pernah dan memungkinkan didatangi oleh gadis itu, tetapi hasilnya nihil. Wanita idamannya itu bak lenyap ditelan bumi.
"Ah, Laras, maafkan aku. Aku berdosa. Aku jahat sekali padamu. Mungkinkah ada kata maaf untukku?" batin Pras sesak.
Pikiran pemuda itu mengembara. Ia teringat saat-saat indah bersama Laras, gadis cantik yang menurutnya tidak neko-neko. Laras pintar dan berprestasi, tetapi sama sekali tidak sombong. Laras juga tidak kecentilan seperti teman-temannya yang suka mencari perhatian pada Pras. Bahkan, ada yang terang-terangan dan nekat menggoda pemuda itu.
Larasati memang berbeda. Itulah yang membuat Pras jatuh cinta padanya.
"Aku ingin fokus pada studiku dulu, Kak, gak pingin pacaran," kata Laras saat itu sambil menunduk dalam ketika Pras menembakknya.
"Kita akan saling memberi semangat, Ras. Lagian, Kakak juga tidak ingin studi Kakak terbengkalai," jawab Pras menyakinkan.
Akhirnya, tanpa kata iya, juga tanpa anggukan, mereka pun jadian. Hingga suatu ketika, malapetaka itu datang.
Sebenarnya, hari itu adalah hari bahagia untuk mereka berdua. Laras berhasil lulus SMU dengan nilai tertinggi, sementara Pras juga berhasil menyelesaikan SI-nya dengan predikat cumlaude. Dua muda-mudi itu bermaksud merayakan keberhasilan mereka di sebuah cafe yang sering mereka datangi. Namun tak disangka, ketika pulang mereka terjebak badai. Hujan deras disertai angin dan petir menghalangi perjalanan mereka.
"Kita berhenti di depan bangunan itu dulu, ya, terlalu berbahaya kalau kita terjang," kata Pras sambil menepikan Pajeronya.
Laras hanya mengangguk pasrah. Wajahnya sudah seputih kapas saking takutnya. Sebagai pacar, tentu saja Pras berusaha untuk menghibur dan menenangkannya. Namun, saat itulah malapetaka itu terjadi.
"Astaghfirullah! Ampuni aku ya, Allah! Aku tidak hanya berlumuran dosa, tetapi juga telah memberinya dosa."
Akan tetapi, semua telah terjadi. Meski awalnya Laras menolak dengan tegas, tetapi ia hanyalah gadis lugu yang lemah. Ia tidak kuasa melawan serigala lapar yang bersarang di benak Pras saat itu.
Pras sendiri sebenarnya bukan pemuda begajulan yang suka bermain perempuan. Sama seperti Laras, ia juga pemuda baik-baik yang berpandangan lurus pada masa depan.
Namun, benarlah kata orang, jika dua orang laki-laki dan perempuan berdua-duaan, apalagi di tempat yang sepi, yang ketiga adalah setan. Ya, mereka betul-betul dirasuki setan.
"Jangan takut, aku akan bertanggung jawab. Kita akan selalu bersama. Aku akan selalu menjagamu, Ras. Kita akan mengejar cita-cita bersama-sama," janji Pras saat itu untuk menenangkan Laras.
Ya, sebuah janji yang belum pernah ditepati oleh Pras sampai sekarang.
Kejadian itu selalu terekam di benak Pras. Bak sebuah film biru yang selalu berputar secara otomatis di kepalanya, terutama di saat pemuda itu sendirian, berada dalam kesunyian.
"Mungkin ini adalah hukuman bagiku, selalu dikejar oleh dosa dan rasa bersalah."
Meski ia bertobat dan setiap sepertiga malam terakhir selalu tersungkur untuk memohon ampunan, tetapi perasaan bersalah itu selalu menghampirinya.
"Maafkan aku, Ras. Kamu sekarang di mana? Apakah kamu sudah bahagia?" bisik Pras lagi.
Sungguh, kalau Larasati saat ini sudah bahagia, Pras rela. Namun, bagaimana kalau gadis itu justru menderita karena peristiwa itu? Pras tak bisa membayangkan, bagaiamana seandainya ada benihnya di perut mungil gadis itu. Bagaimana Laras bisa menghadapi dunia sendirian? Bagaimana ia bisa menjalani hari-harinya dengan kondisi seperti itu? Bagaimana dengan cita-citanya? Bagaimana, bagaiamana, dan bagaimana itu terus terngiang di benak Pras. Namun, sekali lagi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Andai ibunya tahu, betapa kurang ajar dan busuknya dirinya, pastilah wanita cantik itu sangat kecewa. Betapa putra semata wayang yang dididik dengan baik telah begitu kejam pada anak gadis orang.
"Agh ...." Lagi-lagi Pras mendesah. Â Malam itu, betul-betul ia tidak bisa memejamkan mata, meski sangat lelah.
khirnya, pemuda itu beranjak dan menuju ke kamar mandi. Guyuran air wudu membuat wajah lelah itu cukup segar, mengantarkan sujud panjangnya untuk merapalkan dan melangitkan doa-doa, dan memohon ampunan dari lubuk hatinya yang terdalam.
Untuk saat ini, hanya itu yang bisa menjadi jurus andalan untuk menenangkan jiwa gersangnya.
_Bersambung_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H