Kejadian itu selalu terekam di benak Pras. Bak sebuah film biru yang selalu berputar secara otomatis di kepalanya, terutama di saat pemuda itu sendirian, berada dalam kesunyian.
"Mungkin ini adalah hukuman bagiku, selalu dikejar oleh dosa dan rasa bersalah."
Meski ia bertobat dan setiap sepertiga malam terakhir selalu tersungkur untuk memohon ampunan, tetapi perasaan bersalah itu selalu menghampirinya.
"Maafkan aku, Ras. Kamu sekarang di mana? Apakah kamu sudah bahagia?" bisik Pras lagi.
Sungguh, kalau Larasati saat ini sudah bahagia, Pras rela. Namun, bagaimana kalau gadis itu justru menderita karena peristiwa itu? Pras tak bisa membayangkan, bagaiamana seandainya ada benihnya di perut mungil gadis itu. Bagaimana Laras bisa menghadapi dunia sendirian? Bagaimana ia bisa menjalani hari-harinya dengan kondisi seperti itu? Bagaimana dengan cita-citanya? Bagaimana, bagaiamana, dan bagaimana itu terus terngiang di benak Pras. Namun, sekali lagi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Andai ibunya tahu, betapa kurang ajar dan busuknya dirinya, pastilah wanita cantik itu sangat kecewa. Betapa putra semata wayang yang dididik dengan baik telah begitu kejam pada anak gadis orang.
"Agh ...." Lagi-lagi Pras mendesah. Â Malam itu, betul-betul ia tidak bisa memejamkan mata, meski sangat lelah.
khirnya, pemuda itu beranjak dan menuju ke kamar mandi. Guyuran air wudu membuat wajah lelah itu cukup segar, mengantarkan sujud panjangnya untuk merapalkan dan melangitkan doa-doa, dan memohon ampunan dari lubuk hatinya yang terdalam.
Untuk saat ini, hanya itu yang bisa menjadi jurus andalan untuk menenangkan jiwa gersangnya.
_Bersambung_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H