Bu Iren segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Ia tidak bisa membayangkan dan tidak akan pernah mau memikirkan. Jujur ia takut kalau-kalau yang melintas dalam benaknya itu akan jadi kenyataan.
Namun, melihat kegigihan Pras dan betapa kukuhnya anak itu menolak perjodohan, mau gak mau pikiran itu kadang mampir juga di otak tuanya. Mau tanya sendiri ke anak itu, rasanya tidak mungkin. Bisa-bisa pemuda ganteng itu marah atau tersinggung. Iren tidak ingin hal buruk itu terjadi.
***
Malam harinya Pras sangat gundah. Di depannya ada tumpukan berkas yang harus ia periksa dan tanda tangani. Tadi di kantor ada rapat mendadak, sehingga kerjaannya menumpuk dan terpaksa ia bawa pulang.
Namun, malam itu, ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Tak satu pun dari dokumen itu bisa ia periksa. Pikirannya masih dipenuhi dengan permintaan ibunya tadi.
Sungguh, Pras tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih. Ia paham, betapa mereka berdua sangat mengkhawatirkannya.
Siapa sih, yang tidak ingin berumah tangga? Siapa yang tidak ingin menghabiskan setiap detik waktunya dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya? Pras juga ingin, bahkan sangat menantikan saat-saat itu. Ia juga ingin bahagia, tetapi bukan dengan gadis yang dipilihkan ibunya. Ia ingin mencari dan menemukan sendiri jodohnya.
"Apa kau masih berharap berjumpa dengannya?" tanya Totok suatu ketika. Saat itu, mereka sedang berada di sebuah cafe.
"Kau sudah tahu jawabannya, kenapa masih bertanya?" jawab Pras santai.
"Tapi sampai kapan? Lihatlah, berapa usiamu sekarang? Bahkan, cindilku saja sudah mau tiga," gerutu Totok, sahabatnya.
"Sejak kapan kau berubah jadi emak-emak yang cerewet seperti ini?" dengus Pras tak kalah kesal.