Mohon tunggu...
Leni Cahya Pertiwi
Leni Cahya Pertiwi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis Buku Happy Mama

Berharap dengan menulis bisa memberikan manfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Anak Sakit di Asrama, Begini Perjuangan Saya Bertemu Dengannya

22 Juli 2021   20:57 Diperbarui: 22 Juli 2021   22:18 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak dipungkiri Covid-19 memberikan dampak pada banyak sektor kehidupan. Seorang Ibu bahkan tak diizinkan memeluk dan mencium anaknya karena dikhawatirkan membawa virus berbahaya tersebut.

Sehari menjelang Idul Adha, anak bujang satu-satunya menelepon dari asrama. Dari suaranya yang serak, saya curiga ada yang tidak beres. Namun, dia mengaku baik-baik saja.

Anak bujang kemudian meminta bicara dengan kakaknya. Kadang mereka berdua punya rahasia, maka saya tinggalkan untuk memberi privasi bagi keduanya.

Ketika telepon kembali ke saya, suaranya terdengar aneh. Ada isak yang tertahan. Saya kaget dan khawatir. Kenapa? Ada apa denganmu? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja, kan? Rantaian pertanyaan saya hanya dijawab tidak apa-apa.

"Adik sedikit flu dan batuk, ibu tak perlu khawatir".

Agak lega, tetapi masih curiga. Saya mencerewetinya untuk banyak minum air putih, minum obat, banyak istirahat, jangan ini, jangan itu dan rentetan kecerewetan lainnya.

Hari H Idul Adha, anak bujang kembali menelepon. Setelah bertukar kabar dan bercerita ini itu, dia meminta bicara dengan kakaknya. Seperti biasa, mereka kembali mendapatkan privasi.  Saya pun meneruskan pekerjaan yang tadi tertunda.

Selang beberapa lama, Adik yang sedang mudik menghampiri. Dengan suara nyaris berbisik dia berkata

"Kak, Si Ghazy nangis. Tadi aku sempat nyeletuk menyela obrolan mereka. Sepertinya dia kaget aku di Kerinci. Dia sempat menanyakan Naya dan Icha," jelasnya.

"Aku merasa bersalah Kak, jangan-jangan karena tahu kami di kampung dia jadi sedih."

Saya bergegas menghampiri anak gadis. Terdengar dia sedang mengibur adiknya. Dari seberang, kalimat anak bujang tidak tertangkap jelas di telinga. Isaknya membuat saya terhenyak. Ya Allah, dia benar-benar menangis. Apakah saya kurang peka menangkap perasaannya? Bukankah kemaren isyarat itu sudah ada?

Merasa bersalah, saya mengambil telepon dari kakaknya. Saya berjanji akan menjenguknya setelah mengantar kakak. Jawabannya sungguh menohok hati saya.

"'Ga usah Bu. Nanti Ayah kecapaian. Sakitnya bisa kambuh. Adik sudah agak mendingan kok. Demam dan batuknya sudah berkurang. Ibu 'ga perlu khawatir."

Pada pembicaraan lewat telepon sebelumnya, secara tersirat dia meminta kami menjenguk usai mengantarkan kakaknya. Saya yang merasa khawatir dengan keadaan suami yang kesehatannya belum begitu prima, dengan halus menolak karena alasan kesehatan ayahnya.

Isaknya di telepon membuat saya gundah. Saya kemudian membicarakan keadaan anak bujang kepada suami.  Setelah menimbang beberapa hal, kami mememutuskan akan mengunjunginya Rabu siang, tentu setelah mengantarkan kakaknya kembali ke asrama.

Persiapan pun dilakukan, beberapa berkas seperti kartu vaksin dan kartu keluarga  dimasukan dalam sebuah map. Ini untuk antisipasi jika dalam perjalanan kami bertemu pos penyekatan, karena kabarnya PPKM diperpanjang.

Kami beranjak dari rumah usai menjalankan sholat magrib. Perjalanan ke Payakumbuh mengendarai mobil sejauh hampir 400 kilometer kami tempuh selama  lebih kurang 11 jam.

Setelah mengantarkan anak gadis ke asramanya sekitar pukul delapan pagi, kami langsung bertolak ke Padang. Saya sempat menawarkan untuk berisirahat dulu sama Paksu, tetapi beliau menolak.

Sekitar pukul sebelas lewat beberapa menit kami sampai di gerbang Asrama. Paksu melapor pada satpam yang sedang berjaga. Dengan wajah datar dia menjelaskan ini bukan waktu kunjungan.

Apa yang dikatakannya tidaklah salah. Sebelum Covid-19 mewabah, waktu kunjungan diberikan dua kali sebulan. Hari minggu pekan kedua dan keempat. Semakin ganasnya serangan Covid-19 membuat pihak yayasan menghapus waktu kunjungan.

Kekhawatiran terhadap kondisi anak bujang membuat Paksu mencoba cara lain. Sebagai seorang bapak, tentunya satpam itu juga memahami bagaimana perasaan kami saat ini.

Paksu menerangkan kalau kami ingin melihat kondisi anak yang sedang sakit dan menyerahkan obat untuknya. Kemudian beliau menambahkan usaha kami untuk menemui anak bujang tidaklah mudah. Perjalanan jauh dan melelahkan, serta tugas yang ditinggalkan.  

"Keadaan Ghazy sudah membaik, Pak. Demam dan batuknya sudah berkurang. Dua hari yang lalu saya menerima paket yang dikirimkan orangtua untuknya." Pandangannya sedikit menyelidik.

"Memang benar Pak. Kami tahu dia sakit setelah paketnya terkirim. Kebetulan kami juga mengantarkan anak gadis ke Payakumbuh, jadi sekalian kami mampir untuk melihat kondisi Ghazy. Kami menghawatirkannya." Panjang lebar Paksu menjelaskan. Wajah satpam itu sedikit melunak.

"Sebenarnya selama korona orangtua tidak diperkenankan bertamu, Pak." Dia masih berusaha menolak. Namun bagiku, kalimatnya memberi sedikit harapan.

Paksu terus berusaha agar kami diizinkan bertemu anak bujang. Mungkin kasihan melihat wajahku dan paksu yang memelas, satpam itu akhirnya memberikan izin. Dia lalu meminta seorang santri yang kebetulan lewat untuk memanggil anak bujang.

Tak lama terlihat sosok anak bujang berjalan ke arah kami. Dia terlihat sedikit kurus dibandingkan saat kami mengantarkannya. Satpam menghentikan langkahnya pada palang 'batas santri'. Saya dan paksu hanya bisa memandangnya dari gerbang.

Dia terlihat gelisah, ingin mendekat, tetapi satpam yang berdiri mengawasi tak memberinya kesempatan. Kondisi itu pun membuat saya kurang nyaman. Tak banyak yang bisa saya ungkapkan.

Setelah menanyakan keadaan, memberikan petatah-petitih, saya lalu berjalan ke arahnya ingin memberikan bungkusan jeruk dan obat-obatan yang saya bawa. Satpam yang masih mengawasi langsung menegur, dia menunjuk ke suatu tempat agar saya meletakkan bungkusan itu di sana. Meski kesal saya terpaksa mengikuti perintahnya. Anak bujang pun terlihat kurang senang.

Kembali memandangi wajahnya, benak saya berpikir bagaimana caranya agar bisa memeluknya. Berbagai ide muncul di kepala. Saya menangis memelas pada satpam untuk bisa memeluknya sekejap saja. Nanap satpam itu mengiyakan. Tak buang waktu saya memeluknya, kami berdua saling melepas rindu. 

Paksu berdehem mengisyaratkan untuk pamit, saya kaget. Lamunan pun buyar. Anak bujang masih berdiri di 'batas santri' dan saya di gerbang masuk. Tak ada pelukan, ternyata saya hanya mampu berkhayal. 

Sebelum pamit saya pandangi kembali anak bujang. Dengan raut muka sedih dia mamandang saya lekat-lekat, seakan ingin menyampaikan sesuatu. Saya tak bisa membaca apa pesannya, hanya mampu menghibur dengan kata-kata.

"Desember Insya Allah kita akan bertemu lagi. Mudah-mudahan saat itu kalian diizinkan pulang. Ibu dan Ayah menyayangimu, Nak. Ibu ingin memeluk dan menciummu, tapi keadaan tidak memungkinkan. Bersabarlah. " matanya terlihat berkaca.

Saya lalu mengingatkannya untuk rutin minum obat dan banyak beristirahat, yang diiyakannya dengan anggukan. Enggan, saya beranjak menjauh dari gerbang memasuki mobil.

Selamat tinggal Ananda, ini yang terbaik untukkmu. Semoga engkau menjadi anak sholeh penjaga kalam Allah. Doa senantiasa kami langitkan untukmu.

Saya berharap sahabat Kompasiana tak mengalami kejadian seperti ini. Terima kasih telah berkunjung. Salam sehat untuk kita semua.

Antara Padang-Kerinci. Rabu, 21 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun