Mendung malam itu
Larut sudah hari yang ditelan kegelapan
Namun cahaya kota masih menampakan kesombongannya
Kerlip lampu-lampu pertokoan masih menjajakan kehidupannya
Manusia-manusia sepertinya masih enggan melupakan dunianya dan kembali keperaduannya
Â
Disudut remang dari lampu jalanan
Pak Tua mengiba menengadahkan tangannya
istrinya tergeletak tak berdaya di sampingnya
kami belum makan tuan...
Sisihkanlah hartamu yang jadi hak kami serunya...
Tolong kami tuan..
Tangannya memperlihatkan gestur pada setiap mata yang memandangnya
kami belum makan tuan..
kasihani kami nyonya..
Â
Namun lampu kota terlalu sombong untuknya
Setiap mata yang melihat hanya berpaling untuk mencibir
Akh...
Rasa iba sudah menghilang kesudut sempit setiap hati
Nurani sudah lama mati dibunuh rasa curiga
Ketidak berdayaan sudah dipandang sebagai panggung sandiwara para malas
Kota ini tidak mati
Lampu-lampu tak pernah tertidur
Namun jiwanya telah lama mati..
Â
Hujan pagi ini..
Orang-orang berkerumun dengan mulut penuh caci
Dimana nurani kota ini? makinya..
Negara telah lalai mengurus rakyatnya! semburnya..
Blitz kamera berkilat memotret objek yang tidak biasa
Matinya nurani update media sosialnya
Â
Di sana..
Disudut remang lampu jalanan
Dua tubuh tergeletak tak berdaya
Berselimut lembaran koran tanda mereka tanpa nyawa
Mereka..
Pak Tua dan Istrinya...
Â
Pelangi 17/02/2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H