Pertentangan makna yang terjadi di ranah elite politik menunjukkan bahwa persekusi itu sebenarnya makna yang ambigu.Â
Ada hal khusus yang luput dari perhatian khalayak umum bahwa selain "siapa saja (orang) di mata hukum berhak mendapat perlakuan yang sama dan setimpal".Â
Lantas, mengapa persekusi begitu kontroversiil di tahun politik?
Kenyataan saat ini tidak terlepas dari fakta bahwa mungkin saja terlalu banyak yang lupa jika yang krusial itu sebenarnya bukan perlakuan yang sama di mata hukum akan tetapi, "setiap orang berhak untuk melakukan persekusi", (itu yang sedang terjadi).Â
Alasan fundamental yang menjadikan persekusi menjadi "halal" bagian dari demokrasi dan konstitusi contohnya adalah kegiatan persekusi terhadap tanda pagar (tagar)/#2019GantiPresiden.Â
#2019GantiPresiden ini lahir dari rahim politik, maknanya adalah presiden yang terpilih nantinya dari kandungan yang semestinya diinginkan (Pilpres) ini adalah hasil dari amanat konstitusi (kebebasan berpendapat) dan proses demokrasi (pemilu).
Kata Persekusi Yang Dibalik-balik Maknanya
Setelah yang dialami oleh para tokoh agama/ulama diantaranya HRS, Ustadz Teuku Zulkarnain, Ustadz Khalid Basalamah, Felix Siauw dan UAS, kegiatan intimidasi beramai-ramai serupa dinikmati pula oleh aktivis lintas profesi dan aliansi. Baik aktivitas organisasi bermuatan politik bahkan yang bermotif agama.
Neno Warisman, Ahmad Dhani, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet, adalah sederet korban contoh kasus persekusi mendera mereka. Karena tampak persekusi ini mengemuka, maka beranda media ramai-ramai menyediakan panggung untuk para elit dan praktisi beradu silang pendapat.Â
Debat skala nasional di layar kaca oleh narasumber yang pro dan kontra hanya berkutat pada apakah kegiatan persekusi yang terjadi itu konstitusional atau tidak.Â
Kedua kubu tetap saling mempertahankan argumen. Tidak ada titik temu (solusi) yang jelas guna menjadi garis tebal bagi amanat Undang-Undang serta turunannya dan menggarisbawahi perlindungan hukum untuk kebebasan berpendapat.Â