Padahal, kekerasan seksual terdapat beragam modusnya; mulai dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual di luar konteks perdagangan orang, hatespeech karena jenis kelamin, mengintip memakai alat elektronik, sampai penyiksaan seksual. Ini menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus, membutuhkan biaya lebih besar karena proses pendampingan lebih panjang, melelahkan, Â dan mematahkan semangat, karena terkesan LBK "tidak bermanfaat".
- Tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala ini, kecuali mendukung advokasi yang dilakukan oleh jaringan gerakan perempuan nasional untuk pengesahan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.***
Dampak Positif Keberadaan LBK
Setidaknya, ada tiga dampak positif yang bermanfaat dan sekaligus mendukung keberlanjutan LBK sebagai inovasi dalam bidang pemberdayaan perempuan, dalam pencegahan, penanganan dan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan, yaitu :
(1) Meningkatnya Kesadaran Masyarakat;
- Keberadaan LBK perlahan-lahan telah merubah pola pikir masyarakat terhadap permasalahan kekerasan yang dialami perempuan, dan perlahan-lahan mulai menunjukkan dukungan, baik terhadap keberadaan LBKnya sendiri, maupun terhadap korban. Meningkatnya jumlah pengaduan kasus kekerasan ke LBK (75 kasus : 2016, 90 kasus : 2017, 151 kasus : 2018, dan 65 kasus per Juni 2019, juga menunjukkan adanya perubahan sikap masyarakat dan meningkatnya kesadaran terhadap persoalan kekerasan yang dialami perempuan.
- Jika dulunya kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai masalah pribadi yang harus ditutupi, sekarang, masyarakat mulai mengerti bahwa KDRT adalah tindak kriminal yang harus dibawa ke ranah hukum, sehingga pelakunya bisa mendapat hukuman yang setimpal, sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dulu, ngomongin isu kekerasan seksual (karena dianggap tabu), akan mendapat banyak tantangan di masyarakat, terutama dari kalangan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat, tokoh agamanya, misalnya, bahkan dari keluarga korban sendiri. Sekarang, meskipun para tokoh agama tidak memberikan dukungan secara terbuka, namun mereka pernah menghambat kerja-kerja penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan di LBK. Bahkan, di tengah ketiadaan payung hukum untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual, keberanian korban untuk melapor dan kesadaran masyarakat untuk mendukung korban adalah dampak positif dari keberadaan LBK yang perlahan-lahan mulai dirasakan.
(2) Penanganan Kekerasan secara Mandiri
- Sebelum LBK dikembangkan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dimulai dengan Program HAPSARI yang hanya mengandalkan dua orang Staf Lapangan sekaligus Paralegal dan Pendamping Korban. Selain jangkauan layanan yang terbatas, penanganan kekerasan juga sangat bergantung pada program HAPSARI yang memiliki keterbatasan sumberdaya.
- Sekarang, LBK tumbuh sebagai lembaga layanan untuk perempuan korban kekerasan yang mudah dijangkau, karena berada di tengah-tengah komunitas korban itu sendiri. Sehingga koordinasi untuk penganganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan lebih cepat dilakukan dan kasusnya lebih mudah diselesaikan. Tersedianya SDM yang terdiri dari para relawan dan kader-kader paralegal komunitas yang telah dilatih, Â mendorong dilakukannya penanganan kasus secara mandiri di tiap komunitas. Ini adalah dampak positif yang penting dicatat dan perlu terus diperkuat.
- Sebagai contoh, LBK Desa Bingkat, kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai misalnya, Kader Paralegal di desa ini telah mampu secara mandiri menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi baik di komunitasnya maupun di desa-desa sekitarnya. Desa Pegajahan, kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai, setelah menjadikan LBK sebagai Program Inovasi Desa, secara mandiri menyelenggarakan Pelatihan Parelagel Desa, untuk mempersiapkan SDM yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga HAPSARI cukup melakukan monitoring dan tekhnikal asistensi yang dibutuhkan oleh para relawan saja, itupun jika dibutuhkan.
(3) Keberlanjutan Layanan
- Penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan baik KDRT maupun kekerasan seksual yang dilakukan HAPSARI sebagai implementasi dari Program Advokasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Program ini akan segera berakhir pada pertengahan 2010 dan berakhir pula sumberdaya HAPSARI untuk berkontribusi dalam mengakhiri kekerasan pada perempuan.
- Integrasi layanan yang dibangun dengan sistematis mulai tingkat desa dengan pembuatan Perdes Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak, memungkinkan LBK dikelola secara berkelanjutan, dengan pembiayaan dari anggaran desa menggunakan Dana Desa. Karena salah satu prioritas dana desa adalah Pemberdayaan Masyarakat, dimana termasuk di dalamnya pemberdayaan perempuan untuk peningkatan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan, penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan pelayanan publik.
- Dua LBK yang telah diadopsi sebagai program inovasi desa menunjukkan bahwa LBK dapat dijadikan program unggulan dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan dapat dibiayai dengan dana desa, sehingga layanan yang berkualitas bagi upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan perempuan korban kekerasan dapat dilakukan secara berkelanjutan. LBK dapat direplikasi, dari inisiatif komunitas menjadi tanggungjawab negara, karena mengakhiri kekerasan pada perempuan adalah prioritas Pemerintah Indonesia seperti tercantum dalam Nawa Cita dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2015-2019). Hal ini juga sejalan dengan Tujuan (ke-5) Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk mengakhiri segala jenis diskriminasi terhadap perempuan di mana pun.***
Catatan :
Refleksi 4 Tahun Pengelolaan Program
Layanan Berbasis Komunitas (LBK)Â
HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H