Secara perlahan, LBK menumbuhkan kesadaran dan merubah pola pikir masyarakat untuk tidak lagi memberi stigma negatif kepada korban, dan sebaliknya, memberi dukungan kepada korban. Lambat laun, ini akan memutus kekebalan pelaku (impunitas) dan menunjukkan sikap tidak mentolerir kekerasan. Mengubah pola pikir menjadi lebih natural dan efisien, karena dilakukan oleh komunitas diantara mereka sendiri.
(2) Lebih Banyak Orang/Pihak yang Terlibat
Konsep layanan berbasis komunitas, menyebabkan banyak orang "harus" dilibatkan dan menjadikan banyak orang "ingin" terlibat sebagai sumberdaya dalam memberikan layanan. Entah sebagai peserta diskusi, memberikan informasi adanya korban kekerasan, menghubungi Kepala Desa, mendampingi ke Polisi, atau sekedar menjadi teman "curhat".
Sedangkan konsep integritas layanan antara penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan perlindungan sosial untuk penanggulangan kemiskinan, menyebabkan banyak pihak terutama para pelaksana kebijakan dari berbagai OPD (Organisasi Perangkat Daerah), hingga Kepala Daerah "harus" terlibat aktif, sebagai sumberdaya yang ikut berinovasi. Salah satu indikator keberhasilan inovasi adalah, jika banyak orang dan banyak pihak mereflikasi ide inovasi tersebut.
(3) Jaringan yang Menguat
Sehingga, LBK memiliki potensi sumberdaya yang lebih besar dan lebih keberlanjutan daripada layanan yang bertumpu pada program LSM yang datangnya dari luar. Dan, untuk tujuan itulah inovasi ini dikembangkan. Sebab, LSM seringkali tidak lagi mampu memberikan layanan karena tidak memiliki dukungan yang berkelanjutan.
Kendala yang Dihadapi dalam Pengembangan LBK
(1) Masih kuatnya pola pikir patriarki dalam masyarakat, memposisikan laki-laki lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada perempuan, sehingga persoalan kekerasan terhadap perempuan dianggap tidak penting dan dianggap sebagai masalah rumah tangga orang lain yang tidak seharusnya dicampuri.
- Untuk mengatasi kendala ini, kegiatan rutin LBK adalah melakukan diskusi-diskusi komunitas untuk membongkar "tabu" yang keliru tentang kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual. Mengenali apa itu kekerasan terhadap perempuan, akar penyebab terjadinya, apa yang menjadi hak korban dandukungan yang diperlukan korban.
(2) Dana juga merupakan kendala, terutama untuk biaya transport pendampingan korban (mengunjungi korban, ke polisi, ke rumah sakit, atau ke pengadilan, dll), menyelenggarakan pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM Pengelola LBK dan  melatih lebih banyak Paralega komunitas. Hingga saat ini, sumber dana utama LBK berasal dari dana program HAPSARI, kecuali biaya sekretariat dan operasional sekretariat yang merupakan swadaya pengurus LBK.
- Upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi kendala pendanaan ini adalah, mendorong adanya Perdes Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan[1]. Sayangnya Kepala Desa belum berani mengalokasikan anggaran, karena "takut salah". Untuk menjawab ketakutan ini, HAPSARI memfasilitasi diskusi antar LBK dengan Kepala Desa dan menghadirkan Dinas PMD Kabupaten. Hasilnya, Kepala Desa akan mengalokasikan anggaran pada tahun program 2020, sebagai program prioritas di bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Belum tersedianya payung hukum untuk penanganan kasus kekerasan berupa kekerasan seksual. Rata-rata 5 -- 17 % dari jumlah kasus yang ditangani HAPSARI dan LBK adalah kekerasan seksual yang sulit diselesaikan hingga tuntas, karena belum ada payung hukumnya. Yang ada hanya untuk tindak pidana perkosaan, pencabulan dan perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual.Â