Tingginya Angka Kekerasan terhadap Perempuan
Hingga Juli 2019, HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara mencatat telah menangani 487 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mulai pada Juni -- Desember 2014 dengan jumlah 20 kasus, meningkat menjadi 86 kasus (2015), 75 kasus (2016), 90 kasus (2017), 151 (2018) dan 65 kasus (per Juni 2019). Dari total jumlah kasus tersebut, rata-rata 5 -- 17 % adalah kekerasan seksual yang penanganannya sangat sulit, karena belum memiliki payung hukum khusus untuk itu.
Jumlah itu belum termasuk kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Karena faktanya, kebanyakan masyarakat masih menganggap tabu melaporkan kasus-kasus kekerasan yang dialami (dianggap aib) dan perempuan (korban) takut melapor, karena kesalahan selalu ditimpakan kepada korban.Â
Diantara korban tersebut berasal dari serikat perempuan anggota HAPSARI yang pernah mengikuti pertemuan-pertemuan dan pelatihan yang diselenggarakan HAPSARI, sehingga memiliki keberanian untuk melapor. Mereka adalah perempuan desa biasa, ibu rumah tangga dari keluarga petani, buruh tani atau buruh di perkebunan sekitar desa, juga perempuan pesisir.
Ternyata, semakin tinggi angka kekerasan terhadap perempuan, tidak dibarengi dengan tersedianya layanan (bagi perempuan korban kekerasan) yang mudah, komprehensif dan berkelanjutan.Â
Di sisi lain, layanan program dari HAPSARI juga terbatas dan menghadapi ancaman keberlanjutan karena masa berakhirnya program. Sementara layanan yang disediakan oleh pemerintah untuk pencegahan, pendampingan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan (baik di Desa maupun Kabupaten), masih jauh dari memadai. Keterbatasan sumberdaya manusia dan anggaran memperburuk kinerja unit layanan (P2TP2A) yang ada.
Hasil refleksi atas kebutuhan korban dan agar layanan mudah diakses oleh korban, lahirlah untuk memperluas fungsi Posko Informasi Perempuan. Yang semula hanya sebagai pusat informasi, menjadi pusat penanganan dan pendampingan korban, pusat pendidikan dan pusat advokasi yang berbasis komunitas yang disebut Layanan Berbasis Komunitas (LBK) sebagai "inisiatif komunitas" yang kemudian didorong untuk  tanggungjawab bersama (multi pihak).
Layanan Berbasis Komunitas (LBK) adalah layanan yang merujuk kepada upaya bersama di komunitas dalam menyikapi berbagai persoalan kekerasan berbasis gender yang ada di lingkungannya, mulai dari KDRT hingga kekerasan seksual.Â
Penyikapan ini dilakukan untuk mendukung upaya korban dalam  memperoleh hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, serta untuk mengupayakan agar kekerasan tersebut tidak terjadi berulang.
Disebut "berbasis komunitas" karena penyikapan tersebut dilakukan bersama-sama anggota komunitas dengan mengandalkan potensi dan kekuatan yang ada di dalam komunitas. Komunitas yang dimaksud HAPSARI adalah desa atau kelurahan, namun dapat juga berbasis kelompok dengan latar belakang tertentu, misalnya di lingkungan kelompok agama.
Pondasi utama LBK adalah komunitas (masyarakat) yang memiliki kepedulian, pengetahuan dan kemampuan memberikan layanan kepada perempuan korban. Dalam lingkungan komunitas yang patriarkhis; menyalahkan dan bahkan menghukum korban atas kekerasan yang dialaminya (dengan stigma buruk bahkan sanksi sosial bisa berupa pengusiran), menyebabkan korban bungkam, enggan melapor.Â