Sumber foto: kfk.kompas.com
Kadang aku lupa, diriku bukan lagi prioritas dalam hidupnya. Usia memakan kinerja otakku sedemikian hingga tak hanya membuatku kehilangan ingatan, tapi juga buta....
.
‘Besok Valentine.’
‘Hmm, kenapa memangnya?’
‘Kenapa? Aku yang harusnya tanya kenapa. Kau ini perempuan ato bukan. Mana ada perempuan yang nggak doyan Valentinan.’
Tak kujawab. Bima terlalu berisik sore ini.
Â
Adakah kau tahu, setiap purnama selalu berbisik segumpal rindu untukmu. Hanya untukmu. Rindu yang tak bermuara ke mana pun ia singgah. Aku sudah lupa kapan aku bahagia, katamu satu ketika. Aku sebaliknya, aku tak pernah lupa kapan aku bahagia. Terutama saat kita sedang bersama. Bima bilang aku begitu bodoh karena terus berputar di duniamu. Aku sendiri tak tau kenapa mesti begitu. Kadang aku lupa, diriku bukan lagi prioritas dalam hidupmu. Aku terlalu memaksa diri untuk terus berada di situ. Berputar-putar. Persis seperti pusaran air yang besar.
Â
‘Aku tau kau sedang memikirkan siapa.’
‘Siapa?’
‘Ckckck, sebut saja namanya.’
‘Jangan sok tau.’
Bima mengacak-acak anak rambutku.
.
Kadang aku sama sekali buta tentang cinta. Jalannya laki-laki dan perempuan sungguh kadang tak masuk logika. Cinta selalu tak menjanjikan apa-apa. Aku tak mengerti mengapa mencintaimu tak semudah yang aku kira. Dan kau! Aku pun tak mengerti mengapa kau mencintai perempuan yang tak pernah sedikit pun memikirkanmu. Memperhatikanmu. Tidak pernah.
Â
‘Kau tau arti kata menunggu?’
‘Jam tujuh. Bentar lagi pulang.’
‘Dengar dulu. Kau tau tidak?’
‘Hmm.’
Bima meraih buku tanganku.
‘Dengar ini, sampai kapan pun kau menanti Damar, aku akan terus menunggu. Aku akan terus berada di sebelahmu. Menjadi pundakmu, menjadi sasaran amarahmu, menjadi sisi murammu, menjadi apa pun itu asalkan di dekatmu aku akan menunggu. Bukan bodoh, hanya saja.... Aku hanya menginginkanmu. Bukan yang lainnya.’
Hampir saja Bima menitikkan air mata.
Aku juga, but for a different reason, Bima.
‘Dasar cengeng,’ ujarku mendorong dahinya. Lagi-lagi Bima menangkap tanganku dalam hangat jemarinya.
‘Bisakah kelak kau mencintaiku?’
‘Lepaskan.’
‘Jawab dulu. Bisa?’
‘Jangan memaksa.’
‘Oke, baiklah. Tapi paling tidak kau pikirkan dulu. Ya?’
Aku tersenyum menatap wajahnya. Lebih baik tak menjanjikan apa-apa ketimbang membuat salah satu terluka.
.
Â
Epilog
Â
‘Kuambilkan dessert ya,’ kata-kata Dina membangunkan kesadaran.
‘Sudah kenyang,’ sahutku enggan.
‘Tapi aku belum,’ ‘Tunggu bentar,’ ucapnya meninggalkanku begitu saja di antara banyak undangan. Sesekali kudengar ibu-ibu berkata, ‘Pengantinnya cantik ya.’ Tentu saja. Sangat cantik malah. Aku tak bisa mendustai penglihatanku. Dewi memang begitu cantik dalam balutan kebaya warna biru. Dan Bima, ah, senyumnya, masih menawan seperti yang dulu.
Â
Ada saat di mana tangisku tak kunjung mau berhenti. Ada saat aku begitu rapuh dan tak mampu untuk berdiri, bahkan untuk menyangga tubuhku sendiri. Dan saat-saat seperti itu baru kusadari, bahwa aku benar-benar membutuhkanmu. Jika saja waktu bisa diputar kembali, sebelum kau mencariku akulah yang akan menemukanmu, Bima.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H