Bima meraih buku tanganku.
‘Dengar ini, sampai kapan pun kau menanti Damar, aku akan terus menunggu. Aku akan terus berada di sebelahmu. Menjadi pundakmu, menjadi sasaran amarahmu, menjadi sisi murammu, menjadi apa pun itu asalkan di dekatmu aku akan menunggu. Bukan bodoh, hanya saja.... Aku hanya menginginkanmu. Bukan yang lainnya.’
Hampir saja Bima menitikkan air mata.
Aku juga, but for a different reason, Bima.
‘Dasar cengeng,’ ujarku mendorong dahinya. Lagi-lagi Bima menangkap tanganku dalam hangat jemarinya.
‘Bisakah kelak kau mencintaiku?’
‘Lepaskan.’
‘Jawab dulu. Bisa?’
‘Jangan memaksa.’
‘Oke, baiklah. Tapi paling tidak kau pikirkan dulu. Ya?’
Aku tersenyum menatap wajahnya. Lebih baik tak menjanjikan apa-apa ketimbang membuat salah satu terluka.