Mohon tunggu...
Find Leilla
Find Leilla Mohon Tunggu... Administrasi - librarian

seperti koinobori yang dihembuskan angin

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pacar 29 Hari

4 Agustus 2014   02:57 Diperbarui: 11 Februari 2016   17:58 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption id="attachment_350845" align="aligncenter" width="564" caption="Ilustrasi Kompasiana / Ajie Nugroho Kampret"][/caption]

 

 

Tak.

 

Bunyi pesan Whatsapp di hape Rendra.

 

‘Pacar tigapuluh menitku, sedang apakah kamu?’

 

Tersenyum ia menatap layar.

 

‘Tiduran. Kamu?’

 

‘Aku.. bla blaaaa..’

 

Setelah itu, bunyi tik tak terdengar berbalasan.

 

.

 

‘Kita pacaran, yuk.’

 

Ajaknya satu ketika. Aku tertegun membaca pesannya. Dia gadis yang pernah sekali kutemui di jalur mudik kereta. Kirana namanya. Nama secantik pemiliknya.

 

‘Ayuk. Mulai kapan?’

 

‘Hari ini, bodoh.’

 

‘Oke.’

 

‘Janji dulu.’

 

‘Apa?’

 

‘Kalau kulihat kau bersama gadis lain, kita putus. Kalau kutau kau sedang merayu orang lain, kita putus juga.’

 

Kusentuh tanda ‘ok’ sebagai jawaban. Dan hari itu, setelah setahun kami bertemu dan berkomunikasi hanya lewat telepon genggam, kami resmi berpacaran. Virtual? Entahlah. Yang jelas aku dan dia sangat bahagia.

 

.

 

‘Pacar sehariku, lagi ngapain kamu?’

 

‘Abis makan. Apa kabar pacar sehariku?’

 

‘Aku minta putus ya.’

 

Terkejut kutatap layar.

 

‘Apa? Kenapa?’

 

‘Baru saja kulihat dalam film, tokoh perempuannya bilang, masa indah berpacaran itu 100 hari. Terlalu lama itu. Aku cuma butuh 30 hari, mau?’

 

‘Hmm.. 29 hari saja.’

 

‘Kenapa?’

 

“Nggak papa. Hanya ingin lebih egois darimu. Kurang dari 30 hari kalau kau mau, gimana?’

 

‘Oke, deal. 29 hari.’

 

Pacaran apa seperti ini? Dia dimana, aku dimana. Absurd. Namun betapa ingin aku menjadikannya nyata.

 

.

 

Hari ke-20

 

‘Pacar ke-20 hariku, aku sakit.’

 

‘Sakit apa? Aku ke sana ya.’

 

‘Gak perlu. Cuma sedikit ngilu.’

 

‘Apa? Dimana?’

 

Dan ia meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.

 

.

 

Hari ke-25

 

‘Pacar ke-25 hariku, masih ingat saat pertama kita bertemu?’

 

‘Ahahaa..Tentu saja. Kau seperti orang bodoh saat itu.’

 

‘Aku? Bukannya kau yang kebingungan mencari orang untuk memegang pintu toilet waktu itu?’

 

Aku mengirim icon tertawa.

 

‘Kau pikir mengapa Tuhan mempertemukan kita saat itu?’

 

Aku menggeleng tak tau. Ah, dia tak bisa melihat betapa dadaku tiba-tiba seperti ditimpa sebongkah batu. Kejadian itu terlalu ajaib bagiku. Bertemu seorang bidadari sepertimu.

 

‘Tuhan itu pintar atau bodoh menurutmu?’

 

‘Mengapa bertanya begitu?’

 

‘Kadang aku tak mengerti mengapa Ia bisa memberiku pacar sepertimu selama yang aku butuh.’

 

’Butuh katamu? 29 hari? Bisakah lebih lama lagi?’

 

‘Lebih lama? Aku bawel. Masih mau?’

 

‘Kenapa tidak? Lama-lama aku semakin tau bagaimana cara mencintaimu.’

 

‘Wkwkwk.. Serumit itukah aku?’

 

‘Tidak.. Hanya saja..’

 

‘Aku pusing. Aku tidur sebentar ya. Nanti kita bicara lagi.’

 

Dan percakapan itu berhenti.

 

Kutatap foto profil yang baru saja diunggahnya. Seperti saat pertama berjumpa, tetap cantik mempesona. Tapi mata itu. Ada sesuatu dalam tatapan dan senyuman di wajahnya itu. Tapi apa?

 

.

 

Hari ke-26

 

‘Sudah baikan, pacar ke-26 hariku?’

 

Pesan terkirim.

 

Centang satu.

 

.

 

Hari ke-27

 

‘Dor! Pacar ke-27 hariku.. Dimana kamu?’

 

Pesan terkirim.

 

Centang satu.

 

.

 

Hari ke-28

 

‘Kamu dimana? Kenapa tak ada kabarnya?’

 

Pesan terkirim.

 

Centang satu.

 

.

 

Hari ke-29

 

‘Aku lelah menunggu. Setiap menit kubuka chat terakhir kita, tapi kau tak juga menjawab. Sebenarnya kau dimana? Ini hari ke-29 sejak kita bersama. Bisakah aku minta perpanjangan waktu? Aku benar mencintaimu. Ternyata 29 hari terlalu singkat untukku.’

 

Pesan terkirim.

 

Centang satu.

 

.

 

Hari ke-30

 

Centang dua.

 

‘Ini Rendra?’

 

‘Kirana?’

 

‘Bukan. Ini Mirna, kakak Kirana.’

 

‘Kirana? Dimana Nana?’

 

‘Nana dimakamkan di pemakaman keluarga siang tadi. Maaf tak sempat memberitahumu. Nana melarang kami untuk mengabarkan pesan ini padamu sebelum ia bla bla bla...’

 

Aku menatap layar dan memandangi gambar wanita yang hanya sekali kulihat wajahnya di dalam kereta. Seperti menonton layar lebar, adegan demi adegan kembali diputar.

 

‘Tuhan itu pintar atau bodoh menurutmu? Kadang aku tak mengerti mengapa Ia bisa memberiku pacar sepertimu selama yang aku butuh.’

 

Butuh katamu?

 

Kuhapus setetes airmata. Tuhan tak pernah bodoh, Na. Ia memakaiku untuk menemani hari-hari menuju kepulanganmu. Kau benar, kadang Tuhan tak membutuhkan persetujuan kita untuk menggenapi rencananya. Meski sakit, harus kuterima. Sesakit saat kau berkata tak ingin berjumpa denganku di hari ke-25. Saat perih itu tak lagi kuat kau tanggung sendiri saja.

 

‘Kakak, jangan kabarkan berita ini pada Rendra. Beritahu dia setelah aku tiada. Akan lebih sakit rasanya jika harus pergi sembari menatap wajahnya.’

 

Dan hari itu, hari ke-30 aku kehilangan separuh jiwa.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun