Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar dari Penerapan Biosentrisme pada Kultur Suku Baduy Dalam

29 Juni 2018   11:10 Diperbarui: 30 Juni 2018   13:23 3918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : baduywisata.blogspot.com

Isu global terkait sumber daya alam (SDA) dan lingkungan akan terus menjadi isu sentral negara-negara dibelahan dunia manapun. Kita tak bisa menghindar dari fakta bahwa kekhawatiran menipisnya cadangan SDA dan krisis lingkungan memang telah terjadi di depan mata. Pada kesempatan ini, saya ingin coba untuk menggugah kita semua, bahwasanya kita sebagai manusia sempurna pada kenyataannya telah menghadapi krisis etika dan moral dalam memaknai eksistensi alam beserta isinya.

Dalam teori etika lingkungan hidup, kita mengenal ada 3 (tiga) cara pandang manusia terhadap alam yakni antroposentrisme, ekosentrisme, dan biosentrisme. Ketiga cara pandang tersebut dalam perkembangannya menjadi acuan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.

Bagi penganut paham antroposentrisme, manusia dianggap sebagai sentral atau pusat yang mengendalikan alam, di mana mereka menganggap manusia adalah subjek tunggal dalam penguasaan SDA dan lingkungan bagi kepentingan kelangsungan hidupnya. Sementara SDA dan lingkungan itu sendiri hanyalah objek dalam pemuas keserakahan saja. Paham inilah yang kemudian memicu eksploitasi SDA dan lingkungan secara tak terukur dan mengabaikan daya dukung yang ada.

Imbasnya, cadangan sumber daya alam kian menipis, dibarengi dengan terjadinya krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan. Sebuah ancaman serius, karena faktanya pada waktu bersamaan ledakan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup khususnya pangan justru terus meningkat tajam. Kesimpulannya, antroposentrisme memunculkan keserakahan, karena segala sesuatu diukur berdasarkan pertimbangan ekonomi.

Cara pandang antroposentisme kemudian mendapat kritik tajam, bahwa antroposentrisme dianggap sebagai biang kerok pemicu berbagai kerusakan di muka bumi.

Pada perkembangannya kemudian muncul paham yang menjadi antitesa dari antropisentrisme yakni ekosentrisme yang kemudian berkembang menjadi biosentrisme (penyempurnaan dari ekosentrisme). 

Para penganut paham biosentrisme, telah mematahkan anggapan bahwa manusia sebagai subjek tunggal. Biosentrisme memandang bahwa alam dan segala isinya adalah satu kesatuan utuh yang saling mempengaruhi.

Artinya manusia hanyalah bagian penyusun unsur biologis dalam sistem alam semesta, oleh karenanya prilaku manusia harus mempertimbangkan kepentingan unsur lain. Eksternalitas yang disebabkan oleh prilaku manusia dalam memanfaatkan SDA dan lingkungan, akan mempengaruhi kesinambungan mata rantai siklus alamiah yang ada.

Perlu dipahami, bahwa etika dan moral tidak hanya berlaku dalam hubungan antar sesama manusia, namun lebih dari itu etika dan moral haruslah ditunjukan dengan menjamin keselarasan hubungan manusia dengan alam. 

Barangkali selama ini kita terlalu sempit memaknai manusia sebagai makhluk sosial, karena kita cenderung memagari makna makhluk sosial hanya dalam lingkup sosial masyarakat saja. Padahal makhluk sosial pada hakekatnya mencakup semua unsur makhluk yang menyusun alam semesta dan saling bergantung satu sama lain.

Oleh karenanya, makna hubungan sosial dalam konteks lingkungan hidup, adalah bagaimana menempatkan manusia dan unsur lainnya memiliki peran sejajar dalam sebuah mata rantai sistem ekologi yang luas. Sayangnya sedikit sekali di antara kita yang memahami tentang hal ini.

Jika selama ini kita seringkali menuntut penghormatan terhadap hak azasi manusia dalam kontek hubungan antar sesama manusia, justru kita lupa bahwa dalam konteks makhluk sosial yang lebih luas, alam sesungguhnya memiliki hak azasi yang sama layaknya seperti kita.

Mengambil Pembelajaran tentang Etika dan Moral Lingkungan Hidup

Suku Baduy rasanya paling pas merepresentasikan konsistensi bagaimana mereka mampu memegang teguh paham biosentrisme hingga saat ini. Baduy telah ada jauh sebelum negeri ini merdeka, dan konon suku baduy adalah komunitas yang tersisa sejak masa kerajaan Padjajaran di tanah Sunda. 

Uniknya Baduy dengan segala keterbatasan akses justru seolah tak terpengaruh dengan berbagai permasalahan lingkungan global yang menjadi ancaman hampir seluruh penduduk bumi saat ini.

Indonesia menjadi salah satu negara yang hingga saat ini berada pada bayang-bayang dampak dari permasalahan itu, tengok berbagai bencana yang dipicu oleh kerusakan lingkungan, menipisnya cadangan SDA, produktivitas komoditas berbasis pangan yang menurun, dan permasalahan lainnya. 

Singkatnya, negeri kita yang konon loh jinawi itu belum bisa lepas dari ketergantungan dari negara lain, indikasinya yakni importasi produk berbasis pangan yang seringkali masih terjadi.

Kenapa ini bisa terjadi? Jika kita renungkan lebih dalam atas apa yang terjadi, maka mengerucut pada sebuah kesimpulan, bahwa semua terjadi akibat masih melekatnya paham antroposentrisme dalam pengelolaan SDA dan lingkungan. Ini mulai terjadi sejak jaman kolonial hingga saat ini.

Bagaimana dengan Baduy? Rasanya hampir tak ada catatan sejarah yang menggambarkan bahwa komunitas Baduy mengalami krisis yang sama. 

Jika saja kita masih seringkali melihat berbagai kasus kelaparan, kekurangan gizi (mal nutrisi) di beberapa daerah, atau lebih besar lagi kasus defisit pangan yang memaksa untuk impor, justru komunitas Baduy mampu eksis melangsungkan siklus hidupnya seperti biasa. 

Oleh karenannya bagi saya, Komunitas Baduy adalah miniatur sebuah negeri yang mempu mencapai puncak kesejahteraannya secara mandiri.

Sebagai komunitas yang memegang teguh kultur aslinya, Baduy telah memandang alam sebagai ruang interaksi atas unsur-unsur biologis, di mana eksistensi manusia akan sangat bergantung pada berjalannya siklus alamiah. 

Komunitas Baduy telah menempatkan kearifan lokal (Local wisdom) sebagai etika dan moral dalam keseharian interaksi mereka dengan alam. Maka, itulah hakekat biosentrisme yang sebenarnya.

Dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, Suku Baduy memiliki falsafah hidup yang hingga saat ini masih dipegang teguh secara kuat.

"gunung ulah di lebur, lebak ulah dirusak" 

(gunung tidak boleh dihancurkan, sungai tak boleh dirusak/dicemari)

"Lojor heunteu beunang dipotong, pe`nde`k heunteu beunang disambung" 

(panjang tak boleh dipotong, pendek tang boleh disambung)

Kalimat di atas adalah larangan yang pantang dilakukan oleh komunitas Suku Baduy dan menjadi norma yang mengatur etika hubungan mereka dengan alam. Oleh karenanya, pemanfaatan SDA dan lingkungan yang dilakukan Suku Baduy selalu dilakukan secara proporsional dengan berpijak pada penghargaan terhadap hak-hak azasi alam.

Perlu diingat, manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, bukan sebagai penguasa. Khalifah menempatkan manusia sebagai pemimpin yang mengedepankan etika dan moral dalam memperlakukan alam dan isinya. 

Sumber daya alam diciptakan Tuhan untuk bisa dinikmati sebagai karunianya secara proporsional. Perlu dicatat, bahwa Tuhan menciptakan alam secara sangat proposional dan terukur, agar manusia ambil pembelajaran bagaimana memposisikan diri sebagai khalifah yang adil.

Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya alam dibatasi oleh hak azasi alam dalam melangsungkan siklusnya. Layaknya manusia, alampun memiliki keterbatasan dalam mensupport prikehidupan makhluk. Itulah kenapa dalam agama jelas bagaimana Tuhan mewajibkan manusia agar menjaga keselarasan hubungannya dengan Tuhan sang pencipta, antar sesama manusia dan alam.

Ada yang menarik dari sistem pengelolaan SDA dan lingkungan, yang patut kita contoh, bahkan bisa jadi model dalam pelaksanaan konsepsi pembangunan berkelanjutan yakni interprestasi falsafah Suku Baduy di atas dalam pelaksanaan sistem agraria, dan pertanian.

Belakangan konflik agraria menjadi masalah yang saat ini tengah menjadi fokus perhatian pemerintah utamanya terkait eksistensi hutan adat. Dalam sistem agraria, komunitas Suku Baduy telah menerapkan sistem komunal kolektif atas tanah adat, dimana tanah adat dikelola secara bersama-sama. 

Keberadaan tanah adat tersebut dilarang diperjualbelikan, jikapun ada diantara mereka meninggalkan kampung Suku Baduy dalam, maka status tanah garapan akan dipindah-tangankan hak kelolanya pada yang lainnya. Sistem komunal kolektif ini, telah diakui sebagai sistem hak atas tanah yang paling efektif dalam menjamin eksistensi tanah adat. Ini juga menjadi senjata ampuh untuk mencegah alih fungsi lahan dan tetap mempertahankan kelestariannya.

Dalam sistem pertanian, komunitas Suku Baduy telah menerapkan sistem pertanian berbasis konservasi. Pola tanam yang hanya mengenal satu musim tanam untuk komoditas berbasis pangan, penggarapan lahan tanpa merubah kontur tanah, tidak membuat terasering, pengelolaan tanah tanpa dibajak, dan berladang dengan sederhana, pada kenyataannya telah membuahkan hasil panen yang memuaskan.

Dalam konteks ini, orientasi berpikir Suku Baduy justru selangkah lebih maju bagaimana mereka mampu mengelola SDA dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada.

Panen yang dilakukan secara kolektif, sistem pergudangan logistik (disimpan dalam leuit) yang efektif, dan pemanfaatan hasil yang terukur, telah menghantarkan Suku Baduy mampu mencapai swasembada pangan. Maka sepanjang sejarah Baduy, kita tak pernah denger ada kejadian kelaparan atau mal-nutrisi disana.

Kita yang merasa sebagai manusia modern dan hidup pada era perkembangan teknologi, justru harus bersusah payah dalam menggenjot produktivitas pangan, namun lucunya kita lupa bahwa alam punya daya dukung yang terbatas.

Singkatnya, Baduy adalah cermin masyarakat yang tetap memegang teguh biosentrisme, dan kita semua atau bahkan negeri ini mestinya belajar dari Suku Baduy bagaimana melakukan pengelolaan SDA dan lingkungan yang berkelanjutan itu. 

Biarkan Baduy tetap menjadi diri sendiri, dan jangan racuni dengan berbagai kemajuan teknologi yang hanya akan merubah cara pandang mereka terhadap alam dan seisinya. Biarlah mereka jadi cermin bagi kita, si manusia serakah.

Saya bukan penganut radikalis ekologis, tapi saya ingin mengajak bagaimana bisa memberlakukan alam dan memanfaatkannya SDA di dalamnya dalam batasan hak-hak azasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun