Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Geostrategi Indonesia dan Pembangunan Sabang

15 Mei 2018   07:21 Diperbarui: 15 Mei 2018   07:48 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Sail Sabang 2017 - Kompas.com)

Kita pasti mengenal atau paling tidak pernah dengar sebuah kawasan nun jauh di ujung barat Indonesia. Ya, Sabang daerah yang terletak di Pulau Weh ini menjadi titik permulaan garis batas wilayah NKRI. Jika anda berkesempatan ke pulau ini, jangan lewatkan singgah di tugu nol kilometer.

Sabang telah dikenal sebagai pelabuhan terpenting di Selat Malaka sejah sebelum perang dunia II, jauh lebih penting dibanding Temasek (sekarang Singapura). Pemerintah kolonial Belanda tahun 1885 mulai memberlakukan era pelabuhan bebas yang dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola Sabang Maatschaappij (sumber: website resmi Pemkot Sabang). Catatan sejarah tersebut menjadi bukti betapa Sabang begitu penting di mata bangsa-bangsa Eropa kala itu. Dengan posisi geografis Sabang yang Strategis menjadikan Sabang sebagai kawasan utama alur perdagangan internasional.

Pesatnya Sabang sebagai pusat pelabuhan terpenting dan menjadi poros lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka, tak lain karena Belanda mampu membaca dan memanfaatkan peta geostrategis Sabang dengan baik. Dalam konteks geostrategi, mereka telah mampu mampu membangun strategi efektif guna memanfaatkan kondisi geografis menjadi sebuah kekuatan baik secara politik maupun ekonomi.

Sayangnya, masa keemasan Sabang mulai meredup paska masuknya Jepang ke Indonesia. Sejak saat itu letak strategis Sabang sebagai pintu gerbang Selat Malaka mulai tenggelam. Imbasnya, Sabang yang dulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan terpenting di Selat Malaka, justru tertinggal jauh dengan Singapura.

Berkaca dari Singapura yang saat ini menjelma sebagai kawasan transhipment utama alur perdagangan internasional di Selat Malaka, padahal negeri jiran tersebut tak memiliki sumber daya alam. Kenapa bisa terjadi? Faktanya Singapura mampu menerjemahkan peta posisi geostrategis secara baik dan langsung mengubah peta alur perdagangan global saat ini. Singapura kini menjadi sedikit dari negara di dunia yang berhasil memanfaatkan nilai tambah ekonomi paling besar dengan hanya mengandalkan letak geografisnya sebagai tujuan transit dan pelayanan jasa.

Sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesia bisa dikatakan belum maksimal dalam memanfaatkan posisi geostrategis sebagaimana Singapura saat ini. Berbeda dengan Singapura, Sabang justru punya 2 (dua) nilai strategis penting yakni sumber daya alam melimpah dan letaknya yang berada di gerbang Selat Malaka dan Episentrum Andaman Custer. Fakta ini mestinya menjadi modal besar untuk menjadikan Sabang sebagai poros perdagangan internasional, bukan hanya sekedar kota transit, namun mampu memupuk nilai tambah ekonomi melalui pemanfaatan SDA yang ada.

Sabang dan Visi Poros Maritim Dunia

Fakta sejarah tentang pemanfaatan geostrategis Sabang, mulai memunculkan gagasan untuk kembali menjadikan Sabang sebagai pusat pertumbuhan di ujung barat Indonesia. Pemerintah melalui UU nomor 37 Tahun 2000 telah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang (BPKS). Tugas pokok Badan ini yakni melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan Sabang sebagaimana fungsi kawasan Sabang sebagai pusat pengembangan di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, dan perikanan (sumber : www.pidii.com)

Pembentukan BPKS memang diharapkan akan memicu Sabang sebagai "prime mover" ekonomi di gerbang Malaka. Sayangnya, sejak 17 tahun dibentuk, keberadaan Badan ini belum secara signifikan mewujudkan mimpi Sabang sebagai pusat pertumbuhan atau bahkan belum banyak action yang berarti.

Saat ini di era Kabinet Kerja, visi besar menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia terus digaungkan. Visi ini penting untuk kembali meneguhkan bahwa pada hakekatnya Indonesia adalah negara maritim, sehingga pola pendekatan harus bergeser dari semula land-based development menjadi ocean-based development melalui pemanfaatan sumber daya ekonomi maritim.

Oleh karenanya, penting bagaimana memetakan strategi kemaritiman dengan mempertimbangkan posisi geostrategis Indonesia dalam kerangka memperkuat kepentingan geopolitik dan geoekonomi. Sabang dengan basis sumber daya yang ada hendaknya dibangun dalam kerangka memperkuat ke dua aspek di atas.

Pada beberapa tulisan sebelumnya, penulis menyinggung pentingnya membangun pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan di kawasan-kawasan terluar dan perbatasan. Hal ini penting sebagai senjata paling ampuh dalam memperkuat kedaulatan NKRI. Penegakan ketahanan nasional dalam geostrategi Indonesia tidak hanya bergantung pada upaya membangun kekuatan berbasis security approach, tapi justru akan jauh lebih efektif jika didorong dengan berbasis pada prosperity approach.

Artinya, ketahanan nasional akan terwujud jika aspek geopilitik dan geoekonomi dibangun secara bersama-sama dengan menyamakan kepentingan keduanya. Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla yakni "membangun Indonesia dari pinggiran" sangat relevan, karena merupakan kunci dalam menerjemahkan posisi geostrategis Indonesia. PR besarnya adalah bagaimana merealisasikan misi ini menjadi kenyataan bukan hanya sekedar wacana.

Jangan Salah Terjemahkan Konsep Pusat Pertumbuhan

Konsepsi pusat pertumbuhan (growth pole) seringkali menjadi pendekatan dalam perencanaan pembangunan. Sayangnya, konsepsi ini pada implementasinya banyak yang dinyatakan gagal. Artinya, konsep yang tadinya diharapkan memberikan dampak sebagai penghela pergerakan ekonomi justru tidak terwujud. Sebenarnya, bukan karena konsepnya yang salah, namun banyak policy maker yang salah menerjemahkan konsep ini pada saat implementasi. Sebagai kawasan strategis nasional, maka dalam pembangunan kota Sabang ke depan, harus betul-betul dilakukan melalui perencanaan secara komprehensif.

Mari kita berkaca dari apa yang terjadi di kota Batam. Awalnya, melalui Badan Penguasahaan (BP) Batam, Pemerintah ingin menjadikan Batam sebagai growth pole melalui pembangunan pusat industri. Targetnya ingin menjadikan Batam sekelas Singapura.

Namun tengok apa yang terjadi? Kota Batam yang awalnya digadang-gadang akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan diharapkan mampu menyaingi Singapura harus menelan pil pahit, karena justru industri yang ada banyak yang tak mampu bertahan. Tercatat lebih dari 169 perusahaan industri gulung tikar sejak tahun 2015 dan memicu merosotnya investasi (sumber : tribunnews.com)

Di sisi lain dampak ikutannya seperti masalah sosial, tata ruang (alih fungsi dan permasalahan lingkungan) dan lainnya mulai muncul kepermukaan. Kesimpulannya, Batam bisa dikatakan sebagai produk gagal dalam membangun pusat pertumbuhan ekonomi.

Kenapa Batam tidak optimal? sebagaimana diungkap beberapa pakar, bahwa faktanya industri di Batam lebih banyak didominasi industri manufaktur yang hanya melakukan asembling (perakitan), dimana bahan baku industri justru berasal dari luar negeri. Pun SDM lebih banyak mengandalkan dari luar Batam.

Kondisi di atas semakin memperkuat, karena faktanya industrialisasi di Batam justru tidak memberikan trickle down effect (efek tetesan ke bawah) secara positif bagi daerah maupun daerah-daerah lain di sekitarnya.

Atas fakta di atas, penulis membawa pada sebuah kesimpulan bahwa pusat pertumbuhan ekonomi akan sulit terwujud, jika industri yang dikembangkan tidak berbasis potensi sumber daya lokal. Oleh karenanya, apa yang terjadi di Batam patut menjadi pembelajaran dalam membangun Sabang ke depan.

Bangun Industri Berbasis Perikanan

Khusus pada sektor perikanan, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan Sabang sebagai Kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (PSKPT). Tujuannya adalah bagaimana memanfaatkan potensi ekonomi SDA Perikanan bisa menjadi motor penggerak ekonomi.

Letak geografis Sabang yang berada di bibir Samudera Hindia, sangat potensial sebagai pusat perdagangan ekspor perikanan ke berbagai negara seperti China/Hongkong, Malaysia, India, Jepang dan negara lainnya.

Sebagai kawasan yang terkenal dengan sumber daya ikan tuna, sangat berpeluang menjadi komoditas ekspor unggulan Sabang ke depan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang mencatat total potensi lestari sumber daya ikan di perairan Sabang mencapai 78.068 ton per tahun dengan nilai ekonomi diperkirakan hingga Rp 2,3 triliun per tahun.

Sayangnya, saat ini akses perdagangan tuna masih dilakukan melalui pelabuhan Lampulo Aceh, dan kemudian diekspor melalui pelabuhan Belawan Medan. Sebuah rantai tata niaga yang kurang efisien, ironisnya Sabang sebagai basis SDA justru tak merasakan nilai tambah ekonomi.

Program SKPT yang diinisiasi KKP, dengan tangan dingin Susi Pudjiastuti diharapkan akan menjadi titik tolak menjadikan Sabang sebagai pusat perdagangan ekspor produk perikanan utamanya tuna di ujung barat Indonesia.

Pelibatan multisektor terkait menjadi sangat penting dalam membangun sistem bisnis integratif yang efektif. Pemerintah bisa saja mendorong pembangunan industri perikanan Sabang dengan skema Public Private partnership, misalnya dengan menggandeng KADIN (Kamar Dagang Indonesia)

Catatan penulis, BPKS memiliki tanggung jawab besar yang hampir sama dengan BP Batam. Oleh karenanya, sekali lagi penulis sampaikan, bahwa kegagalan pusat pertumbuhan di Batam harus menjadi bahan pembelajaran. BPKS harus benar-benar membawa Sabang sebagai pusat perdagangan dan industri berbasis SDA, sehingga posisi geostrategis Sabang ini memberikan efek ganda terhadap pemanfaatan nilai ekonomi sumber daya bagi kepentingan nasional.

Perhelatan "Sail sabang 2017" yang digelar 25 November hingga 5 Desember, harus dijadikan titik balik sekaligus membuka kesadaran kita, bahwa Sabang pernah berjaya dan harus kita kembalikan kejayaannya mulai saat ini. Jangan sampai Sail Sabang ini hanya sebatas ajang seremonial rutin tanpa makna dan dampak ikutan yang berarti.

Pulau Weh, Sabang, 2 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun