Pada beberapa tulisan sebelumnya, penulis menyinggung pentingnya membangun pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan di kawasan-kawasan terluar dan perbatasan. Hal ini penting sebagai senjata paling ampuh dalam memperkuat kedaulatan NKRI. Penegakan ketahanan nasional dalam geostrategi Indonesia tidak hanya bergantung pada upaya membangun kekuatan berbasis security approach, tapi justru akan jauh lebih efektif jika didorong dengan berbasis pada prosperity approach.
Artinya, ketahanan nasional akan terwujud jika aspek geopilitik dan geoekonomi dibangun secara bersama-sama dengan menyamakan kepentingan keduanya. Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla yakni "membangun Indonesia dari pinggiran" sangat relevan, karena merupakan kunci dalam menerjemahkan posisi geostrategis Indonesia. PR besarnya adalah bagaimana merealisasikan misi ini menjadi kenyataan bukan hanya sekedar wacana.
Jangan Salah Terjemahkan Konsep Pusat Pertumbuhan
Konsepsi pusat pertumbuhan (growth pole) seringkali menjadi pendekatan dalam perencanaan pembangunan. Sayangnya, konsepsi ini pada implementasinya banyak yang dinyatakan gagal. Artinya, konsep yang tadinya diharapkan memberikan dampak sebagai penghela pergerakan ekonomi justru tidak terwujud. Sebenarnya, bukan karena konsepnya yang salah, namun banyak policy maker yang salah menerjemahkan konsep ini pada saat implementasi. Sebagai kawasan strategis nasional, maka dalam pembangunan kota Sabang ke depan, harus betul-betul dilakukan melalui perencanaan secara komprehensif.
Mari kita berkaca dari apa yang terjadi di kota Batam. Awalnya, melalui Badan Penguasahaan (BP) Batam, Pemerintah ingin menjadikan Batam sebagai growth pole melalui pembangunan pusat industri. Targetnya ingin menjadikan Batam sekelas Singapura.
Namun tengok apa yang terjadi? Kota Batam yang awalnya digadang-gadang akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan diharapkan mampu menyaingi Singapura harus menelan pil pahit, karena justru industri yang ada banyak yang tak mampu bertahan. Tercatat lebih dari 169 perusahaan industri gulung tikar sejak tahun 2015 dan memicu merosotnya investasi (sumber : tribunnews.com)
Di sisi lain dampak ikutannya seperti masalah sosial, tata ruang (alih fungsi dan permasalahan lingkungan) dan lainnya mulai muncul kepermukaan. Kesimpulannya, Batam bisa dikatakan sebagai produk gagal dalam membangun pusat pertumbuhan ekonomi.
Kenapa Batam tidak optimal? sebagaimana diungkap beberapa pakar, bahwa faktanya industri di Batam lebih banyak didominasi industri manufaktur yang hanya melakukan asembling (perakitan), dimana bahan baku industri justru berasal dari luar negeri. Pun SDM lebih banyak mengandalkan dari luar Batam.
Kondisi di atas semakin memperkuat, karena faktanya industrialisasi di Batam justru tidak memberikan trickle down effect (efek tetesan ke bawah) secara positif bagi daerah maupun daerah-daerah lain di sekitarnya.
Atas fakta di atas, penulis membawa pada sebuah kesimpulan bahwa pusat pertumbuhan ekonomi akan sulit terwujud, jika industri yang dikembangkan tidak berbasis potensi sumber daya lokal. Oleh karenanya, apa yang terjadi di Batam patut menjadi pembelajaran dalam membangun Sabang ke depan.
Bangun Industri Berbasis Perikanan