“ Sas, keluarga Dia adalah keluarga saleh. Mereka sangat taat pada ajaran agama, taat pada Tuhan. Tidak ada tempat bagi orang yang meragukan dan menduakan Tuhan. Meski mereka senang anak gadisnya mendapat jodoh, tapi mereka tak akan tolerir bahkan menolak pinanganku bila aku tak melepaskan cincin-cincin bertuah ini. Aku menurutinya. Tapi, Sas, aku tetap menggunakannya, meski hanya satu saja. Dan itu tidak terlihat oleh mereka.
Aku bingung. Tak ada lagi cincin bertuah yang digunakannya selain cincin emas bermata berlian itu. Tidak mungkin cincin itu menjadi cincin bertuah. Di mana lagi, cincin bertuah itu akan dipakainya. Tak mungkin pada jari-jari kakinya.
“ Sas, aku menggunakan cincin bertuah di jari terakhirku” kata Poli sambil menunjuk kemaluannya.
“ Poli..Poli..Poli..”
***
Butuh tiga jam untuk tiba di bandara. Masih satu jam lagi untuk tiba di kampung. Hujan masih turun dengan derasnya. Belum mau berubah jadi gerimis. Belum mau memberi kesempatan bagi matahari untuk bersinar. Bila ini terus berlanjut sampai sore, maka jari terakhir Poli tidak bisa ditemukan lagi. Bila pelangi tak muncul, maka telaga pelangi tak bisa ditemukan. Bagaimana menemukan telaga pelangi tempat Poli harus berbasuh tujuh kali? Cara inilah, menurut Ki Pintar, yang bisa membantunya.
Dari atas, hujan masih turun dengan derasnya. Aku hanya bisa berharap dan berdoa pada Tuhan. Semoga ia mau mengampuni Poli meski telah menduakan-Nya. Semoga pelangi muncul sebelum gelap turun melingkupi bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H