Mohon tunggu...
Hendro Meze Doa
Hendro Meze Doa Mohon Tunggu... -

aku orang yang frendly and open minded

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jari Terakhir

27 Maret 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Sungguh sayang Sas, gelisah itu tidak hinggap pada wajah politik negeri ini, pada anak-anak kandung negeri ini. Tidak ada yang sungguh-sungguh gelisah. Semuanya pura-pura bergumul dalam gelisah. Setengah hati untuk negeri ini. Semuanya tidak mau tahu, rusak atau busuk sekalipun tidak mengapa. Yang penting bukan aku atau bukan kami. Sas, aku yang muda ini gelisah setengah mati dengan semuanya ini. Bukankah kamu pun demikian ?” tanya Poli padaku dengan nada menantang, tatapan mata yang menusuk sampai kalbuku.

Bila dipikir-pikir, apa yang dikatakan Poli ada benarnya juga. Itu terbukti pada diriku. Aku selalu gelisah dengan jerawat-jerawat yang terus bermunculan di wajahku. Mana ada gadis yang dekat padaku bila wajahku bopeng. Wajah ganteng plus mulus, rambut air aliashitam lurus seperti bintang film Korea jadi kriteria paling utama. Tak pernah aku gelisah tentang bencana yang menimpa orang lain. Bagiku, itu urusan mereka, bukan urusanku.

Aku melihat Poli yang kembali terpekur diam, tatapannya kembali jauh ke depan. Entah ke mana tatapan itu berhenti. Mungkinkah Poli bisa tampil serupa pahlawan bagi negeri ini? Bagiku, Poli punya semangat seorang pahlawan sejati. Untuk semangat yang langka seperti ini, yang jarang ku temukan saat ini, aku berharap, Poli tak kembali ke kampung. Rasa-rasanya tidak tepat bila orang sehebat Poli, berjuang di tempat yang kecil, udik, jauh dari kamera dan lampu blitz. Poli lebih cocok tinggal di ibu kota dan memperjuangkan idealismenya di sini. Kata orang; right man in the right place. Gantikan orang-orang yang tak tepat dan tak mampu menjadi penyambung mulut rakyat. Lebih banyak yang jadi penjilat. Di sini, di ibu kota negeri inilah, tempat yang paling tepat bagi Poli untuk menabur benih-benih idealismenya.

“ Pol, urungkan niatmu pulang ke kampung?”

“ Sas, kita harus bergerak dari lingkungan yang kecil. Bila berhasil di daerah, kita pelan-pelan bergerak ke ibu kota. Sas, jangan dikira, politik di daerah berjalan pada relnya, aman-aman saja. Justru di sana lebih bergolak ketimbang di ibu kota. Yah, aku akan berjuang dari bawah. Aku tak mau berada di dewan hanya karena popularitas tapi lebih karena aku sudah bersama-sama berjuang dan berpeluh di tengah saudara-saudariku. Sas, masihkah kamu ingat kata-kata Pak Dewanto, guru Pancasila kita di sekolah menengah atas, yang suka  menggunakan kutipan-kutipan dari para bijak, entah dia kutip dari mana, begini katanya : ubahlah dirimu terlebih dahulu maka yang lainnya akan turut berubah. Sas, aku sungguh meyakininya. ”

Aku hanya senyum saja. Senyum malu, tepatnya. Aku tidak mengingatnya lagi. Jujur saja, kekuatan ingatanku rupanya lambat menangkap serpihan kisah yang sudah berlalu beberapa puluh tahun itu.

“ Poli..Poli..kamu memang hebat. Aku bangga padamu, sahabatku” pujiku pada Poli untuk menutupi rasa maluku. Sejujurnya, aku malu karena tak bisa seperti Poli, mempersembahkan hidup untuk negeri ini. Tapi tetap dalam dada ini masih terselip keraguan. Aku ragu apa bisa semuanya berjalan dengan lancar. Bukankah orang muda selalu penuh dengan semangat? Bisakah semangat ini bertahan kekal ? Masihkah Poli memberi kritik bila ia telah menjadi bagian dari dunia kegemarannya ini? Di sela-sela semua tanya ini, aku, sahabatnya, hanya bisa berdoa, semoga berhasil apa yang diimpikannya, apa yang akan dihidupinya itu.

Maka terjadilah. Poli tetap berpijak pada pilihannya. Poli pulang ke kampung halaman kami, Aku tetap tinggal di ibukota, mencoba menjadi seorang penulis naskah sandiwara, drama, dan film. Aku kehilangan kontak dengannya. Berita terakhir yang aku peroleh, Poli mendapat tawaran untuk menjadi orang partai. Tak hanya satu partai yang hendak menggaet Poli, tapi beberapa partai. Mulai partai yang paling muda sampai partai yang paling tua. Wah, rupanya kehebatan sobatku sudah menjadi buah bibir orang-orang partai di kampung kami. Dari sekian banyak tawaran, Poli memilih partai yang sejalan dengan idealismenya. Partai yang berpegang pada hati nurani. Aku bersyukur untuk pilihannya itu. Sekurang-kurangnya dari nama sudah tersimpan sebuah harapan. Harapan akan datangnya sebuah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.

Ia begitu sibuk dengan mimpinya, demikian pula aku berjuang dengan mimpiku.

***

Sepuluh bulan yang lalu, petaka itu bermula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun