Mohon tunggu...
Hendro Meze Doa
Hendro Meze Doa Mohon Tunggu... -

aku orang yang frendly and open minded

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jari Terakhir

27 Maret 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sepuluh hari yang lalu.

Perlahan-lahan, Poli melepaskan cincin sepuluh warna, sepuluh tuah, setelah sepuluh bulan menghiasi kesepuluh jemarinya. Sepuluh lingkar bekas cincin terlihat jelas di jari-jari Poli yang kelihatan mulai menggemuk. Rupanya sejak sepuluh bulan yang lalu, Poli tak pernah sedikitpun melepaskan cincin-cincin itu.

“Pol, kamu sungguh-sungguh tak ingin menggunakan cincin-cincin ini lagi?”tanyaku dengan sedikit mendesak. Aku berharap ia segera memberi jawaban. Sejujurnya, aku senang bila ia tidak lagi menggunakan benda-benda bertuah. Dia hanya tersenyum sambil kembali memasang sebuah cincin. Sebuah cincin yang lain dan berbeda dari kesepuluh cincin yang sangat ku kenal itu. Sebuah cincin emas bermata berlian.

“Sas, sepuluh hari lagi aku akan menikah,” kata Poli sambil memamerkan cincin emas bermata berlian. Aku sedikit kaget dengan kata-katanya ini. Kekagetanku agak mencair karena kekagumanku pada cincin emas bertahta berlian. Mata cincin itu berbentuk salib. Sungguh indah. Meski kaget sekaligus kagum, aku tetap diliputi penasaran, siapa gadis yang akan dipersunting Poli. Aku yakin, gadis tersebut bukanlah gadis sembarang.

“Lihatlah gadis yang akan kunikahi” kata Pol sambil menyerahkan blackberrynya padaku. Aku tahu, Pol tidak akan langsung memberitahukan siapa nama gadis yang akan dipersuntingnya. Cukup lama kuperhatikan foto mesra Pol dan gadisnya. Sepertinya aku mengenal gadis ini. Tapi apakah mungkin dia. Ah, tidak mungkin Poli memilih Dia. Dia bukan gadis yang cocok untuk orang setampan Pol.

“ Sas, itu memang Dia” jawab Pol memecah kebingunganku. Nadia, teman sekelas kami sewaktu sekolah di kampong. Nadia, gadis berbadan gemuk namun berotot, badanya tinggi, berambut separoh ikal Kulitnya separoh hitam. Yah Nadia, sewaktu kecil, selalu membawa sapu tangan untuk menghapus ingus. Ingus yang selalu keluar. Jelas, Nadia bukan gadis primadok pernna. Setahuku, ia tidak pernah masuk dalam daftar gadis Top di sekolahan.

“ Pol apakah kamu sungguh ingin menikahi Dia” tanyaku masih tetap tak percaya.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Pol justru balik bertanya kepadaku.

“Sas, masih ingatkah kamu pelajaran sejarah yang diajarkan Pak Bambang ?” tanya Pol yang ingin menjelaskan pilihannya untuk menikahi Dia.

“ Masih ingatkah tentang politik pernikahan”?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun