Mohon tunggu...
Hendro Meze Doa
Hendro Meze Doa Mohon Tunggu... -

aku orang yang frendly and open minded

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jari Terakhir

27 Maret 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sekalipun itu tak sejalan dengan akalmu, hatimu? selaku.

Ia tersenyum, aku terjangkit penasaran.

“ Aku harus menjadi bagian dari kehidupan mereka. Aku tak mau tampil blak-blakan sekalipun aku tahu apa yang mereka percakapkan itu tidak benar. Itu sikap yang kurang santun bagiku yang masih baru belajar merangkak ini. Jika hal ini yang kulakukan, aku pasti kalah. Bukan sekedar kalah dari dunia politik, tapi aku bisa hilang dengan mudahnya dari dunia ini alias mati. Mati muda, Sas. Apa kamu mau mati muda sebelum berbuat sesuatu yang berguna? Untuk alasan inilah, aku ingin memiliki cincin-cincin bertuah dari tanah Jawa ini. Cincin-cincin ini akan melindungiku. Aku dengar, tuah-tuah dari tanah Jawa tak tertandingi kemampuannya. Sas, ketahuilah, kebanyakan para dewan terhormat menggunakan aneka jenis cincin. Bukan sembarang cincin Sas. Semuanya cincin bertuah, berdaya magis yang berasal dari segala penjuru mata angin. Barang siapa yang tidak menggunakan cincin-cincin bertuah, maka pastilah ia akan kehilangan respek dan rasa takut dari kawan maupun lawan. Kamu akan mudah dikalahkan. Lagi pula Sas, idealisme cinta pada negeri ini tidak mampu memberimu hidup enak dan berkecukupan. Masa hidup yang singkat ini, aku habiskan dengan derita karena berjuang untuk idealisme yang telah jadi absurd ini. Persetan dengan idealism ini, persetan dengan mimpi mengubah dunia, persetan dengan mimpi jadi pahlawan. Biarlah orang lain yang melakukannya.

Luruh rasa banggaku pada Poli. Pening di kepala mendorongku untuk sejenak beranjak dari hadapan Poli. Sebutir aspirin dan segelas air bening segar mungkin bisa menghilangkan pening yang berakar pada kecamuk setumpuk aneka rasa dalam dada. Tak ada lagi niat untuk bertanya. Kubiarkan Poli berapologi dengan kata-katanya.

“ Sas, kamu pasti berpikiran jika kita mengandalkan Tuhan, maka kita akan selamat. Tak perlulah menumpukan hidup pada benda-benda bertuah itu selain kepada Tuhan sajalah kita berharap. Sepertinya keyakinan ini perlu dipertanyakan lagi. Hal ini pun pernah muncul dalam diriku. Aku pernah ditantang dengan pernyataan ini, Sas. Aku seperti tersadar ketika menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota dewan meninggal dunia tanpa sebab, tanpa sakit. Ia tak punya sakit jantung, tak punya sakit tekanan darah tinggi. Singkatnya, ia tidak punya riwayat penyakit yang mematikan. Tambahan lagi, anggota dewan yang mati itu adalah pribadi yang taat beragama, gemar berziarah, rajin bersedekah, rajin berpantang dan berpuasa, aktif di lingkungan keagamaan. Semuanya sepertinya tanpa arti, tak ada faedahnya bagi Tuhan. Apa balasan Tuhan untuk semua bakti salehnya itu? Semakin membuatku heran adalah pernyataan salah seorang anggota dewan saat mengantar jenasah almarhum ke tempat pembaringan terakhir “ Bung Deo terlalu percaya dengan Tuhan. Inilah akibatnya jika bersikap demikian. Mati dalam usia muda”. Sas, aku merinding mendengar kata-kata ini.

Sas, kepintaran, kepandaian berargumen bukan lagi hal yang penting. Anggota dewan yang meningggal itu terkenal dengan kemampuannya yang hebat dalam meluruskan argumen. Memang tak mengherankan bagiku, ia seorang lulusan Strata dua dari universitas terbaik di negeri ini. Menurut cerita, ia selalu mempertanyakan setiap kebijakan yang diajukan para anggota dewan lainnya. Setiap kelemahan dan kejanggalan kebijakan selalu mental oleh pendapatnya. Setiap kata, setiap tindakannya menuai musuh bahkan dalam kalangannya sendiri. Sas, rasa-rasanya, perjuangan tentang kebenaran, keadilan bukan waktunya lagi. Jika kita ingin hidup lama janganlah sok jadi pahlawan bagi rakyat kecil. Ingatlah keluarga sendiri ketimbang rakyat, yang statusnya hanya orang lain saja. Sas, dia pergi dengan meninggalkan istri dan anak-anak yang masih kecil. Siapa yang akan merawat istri dan anak-anak itu? Apakah negeri ini ? Aku sangsi. Negeri ini terlalu mudah untuk melupakan jasa baik saudara-saudaranya sendiri.

Janganlah kamu mengira, orang-orang yang duduk di dewan itu adalah orang-orang terpelajar, lulusan ilmu politik atau sebagainya. Coba kamu bayangkan, ada yang bekas preman ibu kota yang dapat berkah jadi anggota dewan terhormat, ada bekas tenaga kerja di luar negeri yang karena lancar berbahasa Inggris terpilih jadi wakil rakyat, ada yang tak tamat sekolah menengah atas namun karena punya status tuan tanah jadilah ia penyambung lidah rakyat. Maka tak heran, tak ada janji yang tuntas terlaksana. Datang hanya untuk gosip-gosipan tentang siapa punya selingkuhan paling tajir. Lihatlah yang sering terjadi, rumah-rumah berubah jadi istana. Roda dua menjadi roda empat. Cincin plastik jadi cincin emas. Sandal jadi sepatu kulit. Semuanya jadi sarjana dadakan. Mereka jadi aparat keparat, sedangkan rakyat makin melarat sekarat.

Meski baru sewindu turun ke kampung, banyak hal seputar dunia politik kampung telah kuketahui. Aku baru sadar bahwa kebijaksanaan, kepandaian, kejujuran, setia dan percaya pada teman bukanlah utama untuk bertahan di dalam dunia politik. Jika kamu ingin disegani baik pihak maupun lawan maka kamu harus memiliki tiga kekuatan ini, money, magic, dan preman. Tentunya kalau magic, aku sudah mempunyainya. Sepuluh cincin bertuah ini sudah cukup bagiku untuk menangkis angin jahat yang ingin mencelakaiku. Selain itu, aku juga sudah mempunyai seorang penasihat berilmu, seorang pintar. Ia yang akan melindungiku dengan mantra-mantranya. Tidak hanya itu Sas. Lihatlah corak dan warna pakaian yang kukenakan ini. Kamu tahu bukan aku tak menyukai warna kuning dengan motif bunga anggrek. Bagiku, pakaian ini terlalu kewanitaan. Tapi aku harus memakainya demi keselamatanku. Sas, ketahuilah setiap jalan yang kami lalui, setiap rumah yang kami kunjungi, setiap kampung yang kami masuki telah disebar teluh oleh lawan politik. Teluh yang mendatangkan petaka bagi kami. Tentu bagimu hal ini tak masuk dalam akal bukan? Mungkin bagimu, ini hanyalah sebuah lelucon atau sebuah mitos belaka? Bagaimana menghubungkan warna pakaian dengan keselamatan? Tapi, bagiku, hal ini sudah terbukti. Untuk itulah, setiap warna dan corak baju yang kukenakan selalu berdasar pada petuahnya. Semuanya itu untuk mementalkan teluh yang dikirim lawan. Yah, aku mungkin seperti boneka dalam tangan seorang dalang. Tapi yang terpenting bagiku adalah luput dari teluh.

Perkara preman. Yah..yah..kamu tahu aku paling tidak suka dengan para preman yang tidak punya otak, hanya gemar bermain otot dan kekerasan. Namun, demi cita-citaku, aku harus bersahabat dengan mereka. Oh ya..Sas, aku punya mentor bekas preman ibu kota yang sudah bertobat. Ia disegani karena masa lalunya. Aku berharap kedekatanku dengannya bisa memberi pengaruh bagi kewibawaanku sendiri. Dengan kedekatanku ini, orang-orang akan berpikir dua tiga kali bila hendak menjatuhkanku. Aku bisa menggunakan teman-teman preman untuk menghancurkan para lawan politik atau sekurang-kurangnya memberi shock therapy untuk mereka. Mentorku ini pernah bercerita dia pernah menyuruh anak buahnya untuk membunuh sepuluh sapi piaran lawan politiknya. Sepuluh kepala sapi dibiarkan tergeletak di dalam kandang sedangkan tubuh sapi-sapi dibawa pergi entah ke mana. Sejak saat itu, lawan politiknya tidak berani berbuat nekat lagi.

Kekuatan yang ketiga inilah yang tidak kumiliki. Lebih tepatnya, belum kumiliki. Aku bukan orang yang kaya raya dengan uang yang melimpah. Untuk sebuah kursi empuk di dewan, aku harus mampu membayar dengan uang yang tidak kecil jumlahnya. Untuk memperoleh suara yang banyak aku harus bisa membeli suara rakyat. Kamu tahu, sawah warisan orang tuaku sudah ku jual untuk mendapatkan sepuluh cincin bertuah ini. Tak ada lagi benda-benda berharga yang tersisa di rumahku. Tidak mungkin bagiku menjual rumah besar peninggalan ayahku. Di mana ibu dan adik-adikku akan tinggal? Tapi, Sas, aku sudah menemukan cara untuk mengatasi masalah ini.

Poli, tidak memberitahukan kepadaku tentang rencananya itu. Aku tahu, bila ia tidak memberitahukan kepadaku berarti ia sedang mempertimbangkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun