Mohon tunggu...
Hendro Meze Doa
Hendro Meze Doa Mohon Tunggu... -

aku orang yang frendly and open minded

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jari Terakhir

27 Maret 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sas, aku ingin membeli cincin-cincin bertuah yang ada di tanah Jawa. Demikian, pesan singkat yang kuterima dari Poli. Poli memesan sepuluh cincin. Bukan sembarang cincin, tetapi cincin yang bertuah. Aku heran bercampur bingung dengan permintaannya ini. Untuk apa kesepuluh cincin bertuah itu? Apakah Poli hendak mengubah jalan hidupnya? Dari seorang politisi menjadi kolektor benda-benda antik bertuah? Ataukah dari seorang politisi menjadi seorang paranormal? Atau ia ingin jadi politisi sekaligus paranormal? Memang sih dari sisi mencari kekayaan, dua-duanya adalah profesi yang mendatangkan uang. Bisa jadi kaya dalam sekejap mata. Tidak perlu repot-repot bekerja dengan peluh sekujur tubuh.

Sebenarnya, aku tak mau mencari cincin-cincin bertuah itu. Kedatangan Poli ke ibu kota, mau tak mau, mendorongku untuk mendapatkan cincin-cincin bertuah tersebut. Rupanya tak mudah bagi kami untuk menemukan cincin-cincin bertuah itu. Pemilik cincin bertuah tersebut sering memberi harga tinggi. Namun untunglah, harga cincin tidak menjadi perkara bagi Poli. Sempat aku berpikir, Poli tak mungkin bisa membeli semua cincin bertuah tersebut karena masalah dana yang terbatas. Rupanya dugaanku meleset. Ia sudah menyiapkan dana yang besar untuk memperoleh cincin-cincin bertuah itu. Dari mana Poli mendapatkan uang yang banyak itu? Selepas belanja kesepuluh cincin barulah kutahu dari Poli bahwa uang yang dimilikinya itu adalah hasil menjual sawah-sawah dan tambak-tambak ikan warisan orang tuanya. Dengan yakin Poli berkata bahwa semuanya itu akan kembali padanya jika ia sudah sukses. Bahkan jika ia mau, ia akan membeli lebih banyak lagi sawah dan memperluas tambak-tambak ikannya.

“ Pol, untuk apa cincin-cincin ini?”

“ Ini bagian dari tuntutan profesi” demikian ujar Poli padaku.

“Ah yang benar saja kamu Pol’ jawabku sambil ketawa. Mana ada cincin jadi tuntutan profesi seorang politisi? Mana ada cincin-cincin bertuah jadi bagian dari gaya hidup para politisi? Setahuku, jadi politisi itu cukuplah cakap dalam berbicara, mumpuni dalam membaca tanda-tanda jaman, mumpuni dalam melihat kebutuhan rakyat. Setahuku menjadi politisi itu cukuplah berpakaian parlente, pakaian bermerk karya-karya desainer tenar negeri ini.

“ Pol, apakah kamu ingin jadi politisi sekaligus dukun? Ha ha  ha..apa kamu ingin cepat-cepat jadi kaya? Pol, pilihlah satu, supaya kamu fokus, supaya perhatianmu tidak terbagi. Apakah gaji seorang politisi di dewan tidak cukup bagimu?

Poli mendengar kata-kataku dengan tenang, meski aku tahu dia marah karena kata-kataku ini. Wajah putihnya memerah. Marah tidak membuatnya kehilangan senyuman. Ia belum membalas kata-kataku. Sepertinya ia hendak membiarkan aku berbicara sepuasnya.

“ Pol, untuk apa tuah kekebalan tubuh, tuah kewibawaan, tuah kepercayaan diri, tuah pengusir bala dan tuah-tuah lainnya itu? Di manakah pikiranmu yang waras itu? Percayakah kamu pada hal-hal yang mistis-magis, yang tak masuk akal itu ? “ ujarku dengan nada sinis menantang.

“ Sas, cincin-cincin ini bagian dari tuntutan profesi seorang politisi di kampung” tegas Poli sekali lagi.

“ Sas, aku baru tahu dan sadar bahwa tak selamanya idealisme harus terjadi dalam kenyataan” tanggap Poli dengan pelan tapi dengan tekanan yang jelas terdengar di telingaku. Aku mulai terusik dengan kata-kata Poli ini. Ada apa dengannya? Di manakah semangat seorang muda, calon pahlawan, yang berkobar-kobar sepuluh bulan yang lalu? Polikah yang sedang berbicara denganku? Semua tanya ini berkecamuk dalam diriku, berebut waktu untuk segera terucap.

Lanjut Poli, “ Apalagi aku yang baru saja masuk dalam dunia itu. Aku perlu banyak belajar dan banyak meniru para pendahulu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun