Mohon tunggu...
Anindya Gupita
Anindya Gupita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

~ Think twice, try to be wise. Just read with our heart, explain it with our sense...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

A Night of Terror "in September"

4 September 2017   02:20 Diperbarui: 4 September 2017   02:45 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berjalan di sebuah lorong bawah tanah. Tampak jelas  sosok pria yang tengah kukejar justru dengan tenang melintas di  hadapanku. Entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya. Ia sama  sekali tak menghiraukan tindakanku yang mungkin saja dapat melukai, atau  bahkan membunuhnya.

Tiga buah lubang di dinding yang telah kubuat  sama sekali tak membuatnya gentar. Ia mendekat, bahkan semakin dekat  dengan jarak hanya setengah meter dari tempatku berdiri. Tatapannya  begitu teduh, namun penuh dengan ratusan pesan yang tersirat. Bibirnya  membiru, menandakan ia sedang kedinginan. Bajunya yang terlihat tipis  mungkin tak mampu menahan suhu rendah air conditioner di sepanjang  lorong. Aku tak boleh lengah. Bisa jadi ini merupakan sebuah tipu daya  untuk menurunkan kesiagaanku. Ya, bisa jadi.

"Marilyn." Panggilnya lirih.

Jantungku  berdegup lebih cepat. Panggilan nama itu membuat darahku berdesir.  Nafasku terasa sedikit sesak. Keringat dingin mulai bermunculan  membasahi roma yang semakin tegak. Tak kusangka pria itu mampu bertahan.  Padahal di dadanya sudah bersarang dua buah peluru tajam.

Namun,  langkahnya tampak berbeda. Ia terlihat gontai. Wajahnya juga semakin  pucat. Bibirnya mulai meneteskan darah, pertanda ada organ tubuh yang  mulai rusak. Aku tak bergeming. Seandainya saja nurani dan perasaanku  berada di atas segalanya, mungkin tembakan ini tidak akan pernah  terlepas. Sayang, aku bukanlah Marilyn yang dulu. Meskipun pada akhirnya  aku menyesal. Darah yang mengucur di dadanya membuatku tak nyaman.  Tanganku mulai bergetar.

Kurasakan sentuhan dingin tiba-tiba mendarat di bahuku. Aku terkejut. Pria itu sudah berada dalam jarak yang semakin dekat.

"Jangan kawatir, Mar! Aku tidak akan mati semudah itu."

Mataku  terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa membaca  kegelisahanku. Apakah ini yang disebut dengan kelihaian musuh? Ataukah  ada hal lain yang membuatnya bisa mengetahui seluk beluk pikiranku?  Logikaku semakin rumit. Bukankah aku adalah orang yang paling pandai  dalam menyembunyikan emosi? Lalu kenapa masih saja terbaca semua hal  yang tak ingin kutampakkan, terutama pada dia, seorang teroris yang  ingin segera kutaklukkan.

"Kau teroris, jangan sok tahu!" Ujarku penuh amarah.

Bibirnya  tersenyum tipis. Benar-benar respon yang sangat mengejutkan. Ia  memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya seperti  pria jalang yang hendak menelanjangi. Tak lama, ia menghela nafasnya  dalam-dalam, seperti sedang menekan sebuah beban yang tak ingin  disampaikan. Aku menatapnya penuh pengertian. Entah sejak kapan aku  mulai memahami bahasa tubuhnya tanpa harus mendengarkan kata-kata.  Kuterima saja pikiran kotornya, atau malah aku yang sebenarnya  merindukan sebuah pelukan? Yang benar saja.

"Kau ini tidak berubah, Mar. Bagaimana bisa selama ini kamu bertahan sendiri tanpa disentuh oleh siapapun?" Ejeknya.

"Kau itu, mau mati saja banyak mulut."

Tatapannya  meredup. Ia mulai menyadari tentang ketidaknyamananku, meskipun  sebenarnya aku merasa wajar dengan perilakunya. Pria itu pasti sudah  lama tidak menikmati hubungan intim. Terlebih lagi dia adalah pria  dewasa yang sudah tiga tahun lebih bercerai dari istrinya. Tunggu!  Istri? Kenapa aku harus membahasnya lagi. Tidak ada istilah istri maupun  suami di dalam hubungan yang pernah terjalin dengan penuh kepalsuan.

"Mar, aku tahu kamu membenciku. Tapi, izinkan aku memelukmu sebentar saja."

Aku  terdiam. Sebenarnya bukan dia saja yang merasa rindu. Terkadang aku  ingin menepis kenyataan bahwa dia adalah seorang teroris yang harus mati  di tanganku.

Kucoba untuk menyembunyikan sepucuk senjata api yang  tadi kutodongkan ke dalam saku. Raut wajahnya terlihat lega. Tak  kudapati tanda-tanda perlawanan yang mungkin dapat membuatku celaka. Ia  mendekapku, lalu menggenggam tanganku erat. Darah yang mengucur tak mau  berhenti hingga tumpah membasahi bajuku. Ia tak peduli. Didekatkannya  bibir pucat itu pada bibirku. Kami berciuman. Kubuka bibirku agar  lidahnya mudah masuk ke dalam rongga mulut. Rasanya sudah lama sekali  tak begini sejak tiga tahun kami berpisah. Kenikmatan yang tak biasa  mulai menjalar ke seluruh tubuh. Fantasiku terasa bermain dalam  bayang-bayang kenikmatan aroma tubuh lawan jenis.

Namun, aku  merasakan aura yang sangat aneh. Aura ini begitu pekat. Terasa seperti  saat aku menodongkan pistolku kepada musuh. Sebilah pisau serbaguna ia  keluarkan dari lengannya. Sudah kuduga jika pria itu ingin membunuhku.  Mantan suamiku yang licik itu harus segera kusingkirkan. Tak kutunjukan  keterkejutanku dengan senjata tajam yang telah dipersiapkannya. Perlahan  kuraih senjata api di dalam sakuku. Kami masih berciuman. Namun kedua  tangan kami mencoba mencari celah dalam melukai. Dan seketika... .

"Dor... ."

Satu tembakan tepat mengenai dada sebelah kiri pria itu. Pisaunya terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang terkapar.

"Ka... kau... kau menang, Mar. Sudah kuduga. Selamat ha ha ha."

Jantungku  lagi-lagi tak mampu menahan gejolak amarah. Pria itu perlahan  menghembuskan nafas terakhirnya tanpa banyak kata. Sungguh, ini adalah  kematian yang menyakitkan. Tak banyak hal yang kita bicarakan. Hanya  kata ejekan melalui tertawanya yang sama sekali tidak lucu.

Kudekati  mayat mantan suamiku. Tak ada respon. Kulitnya juga terasa dingin. Tak  ada lagi hangat kehidupan yang kini berdenyut dari nadinya. Kucoba untuk  melakukan pengecekan medis berkali-kali, namun sia-sia.

Air  mataku perlahan menetes membasahi sesosok pria yang telah kubunuh dengan  tanganku sendiri. Bukan karena aku telah menyesal karena membunuhnya.  Bukan. Ada hal yang amat sangat kusesali, terlebih lagi ketika aku tahu  bahwa hidupku hanya dikorbankan untuk sebuah ambisi. Sungguh, wanita  mana yang tidak sakit bila selama ini ternyata ia tidak pernah dicintai,  melainkan dimanfaatkan untuk sebuah tujuan yang tak diketahui.

Bersambung

Catatan

Cerita ini ditulis pada 4 Spetember 2017 dan akan berakhir dengan 11 episode di bulan September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun