Aku berjalan di sebuah lorong bawah tanah. Tampak jelas sosok pria yang tengah kukejar justru dengan tenang melintas di hadapanku. Entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya. Ia sama sekali tak menghiraukan tindakanku yang mungkin saja dapat melukai, atau bahkan membunuhnya.
Tiga buah lubang di dinding yang telah kubuat sama sekali tak membuatnya gentar. Ia mendekat, bahkan semakin dekat dengan jarak hanya setengah meter dari tempatku berdiri. Tatapannya begitu teduh, namun penuh dengan ratusan pesan yang tersirat. Bibirnya membiru, menandakan ia sedang kedinginan. Bajunya yang terlihat tipis mungkin tak mampu menahan suhu rendah air conditioner di sepanjang lorong. Aku tak boleh lengah. Bisa jadi ini merupakan sebuah tipu daya untuk menurunkan kesiagaanku. Ya, bisa jadi.
"Marilyn." Panggilnya lirih.
Jantungku berdegup lebih cepat. Panggilan nama itu membuat darahku berdesir. Nafasku terasa sedikit sesak. Keringat dingin mulai bermunculan membasahi roma yang semakin tegak. Tak kusangka pria itu mampu bertahan. Padahal di dadanya sudah bersarang dua buah peluru tajam.
Namun, langkahnya tampak berbeda. Ia terlihat gontai. Wajahnya juga semakin pucat. Bibirnya mulai meneteskan darah, pertanda ada organ tubuh yang mulai rusak. Aku tak bergeming. Seandainya saja nurani dan perasaanku berada di atas segalanya, mungkin tembakan ini tidak akan pernah terlepas. Sayang, aku bukanlah Marilyn yang dulu. Meskipun pada akhirnya aku menyesal. Darah yang mengucur di dadanya membuatku tak nyaman. Tanganku mulai bergetar.
Kurasakan sentuhan dingin tiba-tiba mendarat di bahuku. Aku terkejut. Pria itu sudah berada dalam jarak yang semakin dekat.
"Jangan kawatir, Mar! Aku tidak akan mati semudah itu."
Mataku terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa membaca kegelisahanku. Apakah ini yang disebut dengan kelihaian musuh? Ataukah ada hal lain yang membuatnya bisa mengetahui seluk beluk pikiranku? Logikaku semakin rumit. Bukankah aku adalah orang yang paling pandai dalam menyembunyikan emosi? Lalu kenapa masih saja terbaca semua hal yang tak ingin kutampakkan, terutama pada dia, seorang teroris yang ingin segera kutaklukkan.
"Kau teroris, jangan sok tahu!" Ujarku penuh amarah.
Bibirnya tersenyum tipis. Benar-benar respon yang sangat mengejutkan. Ia memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya seperti pria jalang yang hendak menelanjangi. Tak lama, ia menghela nafasnya dalam-dalam, seperti sedang menekan sebuah beban yang tak ingin disampaikan. Aku menatapnya penuh pengertian. Entah sejak kapan aku mulai memahami bahasa tubuhnya tanpa harus mendengarkan kata-kata. Kuterima saja pikiran kotornya, atau malah aku yang sebenarnya merindukan sebuah pelukan? Yang benar saja.
"Kau ini tidak berubah, Mar. Bagaimana bisa selama ini kamu bertahan sendiri tanpa disentuh oleh siapapun?" Ejeknya.
"Kau itu, mau mati saja banyak mulut."
Tatapannya meredup. Ia mulai menyadari tentang ketidaknyamananku, meskipun sebenarnya aku merasa wajar dengan perilakunya. Pria itu pasti sudah lama tidak menikmati hubungan intim. Terlebih lagi dia adalah pria dewasa yang sudah tiga tahun lebih bercerai dari istrinya. Tunggu! Istri? Kenapa aku harus membahasnya lagi. Tidak ada istilah istri maupun suami di dalam hubungan yang pernah terjalin dengan penuh kepalsuan.
"Mar, aku tahu kamu membenciku. Tapi, izinkan aku memelukmu sebentar saja."
Aku terdiam. Sebenarnya bukan dia saja yang merasa rindu. Terkadang aku ingin menepis kenyataan bahwa dia adalah seorang teroris yang harus mati di tanganku.
Kucoba untuk menyembunyikan sepucuk senjata api yang tadi kutodongkan ke dalam saku. Raut wajahnya terlihat lega. Tak kudapati tanda-tanda perlawanan yang mungkin dapat membuatku celaka. Ia mendekapku, lalu menggenggam tanganku erat. Darah yang mengucur tak mau berhenti hingga tumpah membasahi bajuku. Ia tak peduli. Didekatkannya bibir pucat itu pada bibirku. Kami berciuman. Kubuka bibirku agar lidahnya mudah masuk ke dalam rongga mulut. Rasanya sudah lama sekali tak begini sejak tiga tahun kami berpisah. Kenikmatan yang tak biasa mulai menjalar ke seluruh tubuh. Fantasiku terasa bermain dalam bayang-bayang kenikmatan aroma tubuh lawan jenis.
Namun, aku merasakan aura yang sangat aneh. Aura ini begitu pekat. Terasa seperti saat aku menodongkan pistolku kepada musuh. Sebilah pisau serbaguna ia keluarkan dari lengannya. Sudah kuduga jika pria itu ingin membunuhku. Mantan suamiku yang licik itu harus segera kusingkirkan. Tak kutunjukan keterkejutanku dengan senjata tajam yang telah dipersiapkannya. Perlahan kuraih senjata api di dalam sakuku. Kami masih berciuman. Namun kedua tangan kami mencoba mencari celah dalam melukai. Dan seketika... .
"Dor... ."
Satu tembakan tepat mengenai dada sebelah kiri pria itu. Pisaunya terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang terkapar.
"Ka... kau... kau menang, Mar. Sudah kuduga. Selamat ha ha ha."
Jantungku lagi-lagi tak mampu menahan gejolak amarah. Pria itu perlahan menghembuskan nafas terakhirnya tanpa banyak kata. Sungguh, ini adalah kematian yang menyakitkan. Tak banyak hal yang kita bicarakan. Hanya kata ejekan melalui tertawanya yang sama sekali tidak lucu.
Kudekati mayat mantan suamiku. Tak ada respon. Kulitnya juga terasa dingin. Tak ada lagi hangat kehidupan yang kini berdenyut dari nadinya. Kucoba untuk melakukan pengecekan medis berkali-kali, namun sia-sia.
Air mataku perlahan menetes membasahi sesosok pria yang telah kubunuh dengan tanganku sendiri. Bukan karena aku telah menyesal karena membunuhnya. Bukan. Ada hal yang amat sangat kusesali, terlebih lagi ketika aku tahu bahwa hidupku hanya dikorbankan untuk sebuah ambisi. Sungguh, wanita mana yang tidak sakit bila selama ini ternyata ia tidak pernah dicintai, melainkan dimanfaatkan untuk sebuah tujuan yang tak diketahui.
Bersambung
Catatan
Cerita ini ditulis pada 4 Spetember 2017 dan akan berakhir dengan 11 episode di bulan September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H