Di dua kesempatan aku secara langsung tinggal serumah dengan "keluarga" yang kebetulan mengidap kusta. Pertama pada tahun 2013 sekitar dua mingguan dan kesempatan kedua di awal tahun 2019 selama sebulan.
Dua kesempatan ini mengajarkan banyak hal kepadaku tentang nilai-nilai kemanusiaan, mungkin gara-gara itulah aku sedikit baperan ketika ada saudara dari lain Ibu yang "dikucilkan".
Apa itu Kusta?
Di zaman post-kontemporer ini (beberapa menyebutnya demikian), penyakit kusta bukan sesuatu yang kiranya kita takuti (bdk. hindari). Penanganannya dari dunia kesehatan semakin baik dari hari ke hari.
Pengertian kusta aku kutip langsung dari  www.halodoc.com. Jika para pembaca ingin mengetahui lebih jauh, boleh diakses situs tersebut. Aku nantinya lebih pada membagikan pengalaman pribadi yang secara langsung berdiskusi, masak, makan, bekerja, tertawa bersama mereka.
Halodoc menulisnya demikian: kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang menyerang kulit dan jaringan saraf perifer serta mata dan selaput yang melapisi bagian dalam hidung.
WHO mengklasifikasikan kusta ke dalam 2 kelompok, yaitu:
1. Pausibasiler: 1-5 lesi, kusta jenis ini menyebabkan rasa baal yang jelas dan menyerang satu cabang saraf.
2. Multibasiler: lesi >5, kusta multibasiler tak seperti pausibasiler, rasa baalnya tidak jelas, dan menyerang banyak cabang saraf.
Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh kuman dan kini penyakit ini telah dapat disembuhkan dengan pengobatan modern. Namun masyarakat umum masih menganggap kusta sebagai penyakit keturunan, penyakit yang tidak dapat diobati, penyakit yang sangat menular dan ada anggapan penyakit kutukan dari Sang Ada.
Mitos dan anggapan yang salah dari masyarakat tentang penyakit kusta memicu diskriminasi. Diskriminasi dapat membatasi kesempatan "orang yang pernah mengalami kusta" untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan menikah. Diskriminasi juga dapat membatasi mereka untuk memperoleh layanan publik sehingga mereka dan keluarganya terpinggirkan dari masyarakat.
Pengalaman pertama
Tulisan lengkap tentang pengalaman pertama bersama saudara pengidap kusta sebenarnya ada di buku harianku. Buku harian tersebut aku simpan rapih di rumah orang tua di Medan. Dulu masih sering nulis di buku harian, sekarang seringnya ghosting-in orang, bukan, bukan.
Waktu itu aku pergi ke salah satu kompleks yang didiami keluarga yang mengidap kusta, salah satu atau keduanya dari keluarga tersebut. Tepatnya di Gema Kasih, Galang-Lubuk Pakam, Sumatra Utara. Mereka dibina oleh para Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE).
Aku tinggal bersama seorang teman asal Sibolga di rumah keluarga yang masih merindukan kehadiran seorang anak, saat itu. Karena mereka memiliki piano, waktu itu kami setiap malam bermain piano, bernyanyi lagu-lagu hits pada zamannya. Kalau tidak salah, waktu itu kami masih menonton final Liga Europa antara Benfica vs Chelsea, yang akhirnya dimenangkan Chelsea.
Selama dua minggu kami bekerja di pertukangan milik para Suster, termasuk induk semangku. Jujur, keahlian mereka dalam membuat mebel sangat patut dibanggakan. Keringat yang membasahi wajah dan pakaian mereka mengajarkanku tentang pentingnya berjuang, meski pekerjaan kita terkesan menyulitkan.
Sorenya aku dan keluarga tersebut bekerja di kebun belakang rumah mereka, waktu itu menanam singkong, kunyit dan jahe. Tanahnya kuning, air kurang (kebetulan kemarau saat itu).
Kami juga memasak bareng, mandi bergantian. Letak handuk berdekatan, bercerita tentang masa lalu masing-masing.
Tidak ada keengganan, tidak ada kecemasan, tidak ada pengalaman seperti yang diceritakan oleh banyak pihak ke aku. Hingga suatu hari pada kesempatan pengobatan berkala, secara langsung aku melihat saat luka mereka dibersihkan. Mungkin tak perlu aku ceritakan, tetapi pengalaman itu sangat menguatkan bahwa di saat diberi kesehatan seperti sekarang ini, harusnya berbuat lebih banyak dan produktif.
Perlu diketahui, sebelum aku tinggal bersama mereka, aku disuntik dan diberi pengertian oleh salah seorang dokter lulusan USU. Saat itu aku memang sedang proses pencarian jati diri. Hal-hal seperti ini cocok juga dijalani, apalagi di Ibukota saat ini, mungkin sesekali baik ke tempat yang menghadirkan kegembiraan meski dalam kesulitan, semisal panti rehabilitasi atau sejenisnya.
Ketika saatnya berpisah, kami berpelukan, tentu ada bulir-bulir air menetes pelan dari mata polos ini. Aku masih ingat wajah mereka, dan semoga masih dalam keadaan sehat.
Pengalaman Kedua
Kesempatan kedua aku jalani di Desa Proyek Lama, Natam Metangur, Kec. Ketambe, Kab. Aceh Tenggara. Aku tiba pada 06 Februari 2019, pukul 01.30 WIB. Agak melelahkan karena sebelumnya lama menunggu bus di Kabanjahe jurusan Lawedesky, Aceh Tenggara. Menginap di Lawedesky, esoknya menujut ke Natam.
"Tinggallah bersama mereka senantiasa ya Tuhan", terbisik doa dalam batinku ketika tiba di lokasi "karantina orang kusta". Waktu itu matahari segera terbenam. Â Aku pun berkenalan dengan mereka yang menyambut. Sambutannya hangat dan bersaudara.Â
Tempat penampungan orang kusta ini didirikan oleh seorang Kapusin bernama RP. Rochus Raeesens OFMCap, seorang misionaris dari tahun 1950-1995. Pada 28 Maret 2004 yang lalu meninggal dunia di Negeri Belanda.
Aku tinggal di rumah Bapak Bren yang adalah Kepala Dusun. Di rumahnya ada 3 putrinya dan istri ketiga bapak tersebut. Keluarga ini hidup rukun dan Islam yang taat. Kompleks perkampungan di mana aku tinggal terdapat 30 KK, tetapi tidak semuanya eks penyakit kusta. Hanya beberapa.Â
Sebagai informasi terdapat dua perkampungan yang lain sebagai perkampungan khusus orang kusta, satu kampung lagi belum pernah aku jalani karena jauh dari tempat aku tinggal, tepatnya di tengah hutan. Sebenarnya kami tinggal di tengah-tengah perkebunan. Perkebunannya berisi berbagai jenis tanaman seperti karet, kakao, salak, durian, pinang, dlsb. Signal di desa ini sangat sulit didapat dan hewan-hewan hutan masih bebas berkeliaran.
Tidak ada yang menyulitkan bagiku tinggal di tempat ini. Meski dikatakan beberapa di antara mereka eks penderita kusta, faktanya beberapa pasien masih secara serius diobati dan tampak luka-luka yang masih basah di beberapa bagian tubuh mereka. Juga tidak ada kesulitan bagiku makan, bekerja dan tidur bersama mereka.Â
Satu rumah, komunikasi yang akrab setiap hari, bahkan peralatan mereka juga selalu aku gunakan. Kami tidak sungkan untuk akrab satu sama lain.Â
Sehari-hari kami bekerja di kebun, memperbaiki saluran air dan masih banyak lagi. Eh, tidak lupa juga jalan-jalan menikmati budaya Gayo yang ada di sana. Ada beberapa festival budaya saat itu aku ikuti.
Keuntungan Bersahabat dengan Saudara Pengidap Kusta
Apa yang bisa aku dapatkan ketika  tinggal bersama orang kusta? Yang aku dapatkan adalah perjuangan untuk bertahan hidup.Â
Sudah sejak lama penyakit kusta dijauhi oleh masyarakat yang sehat seperti aku. Mereka kerap didiskriminasi karena penyakit kusta itu menular, sehingga masyarakat lainnya enggan untuk mendekati mereka. Perjuangan mereka bukanlah sebuah perjuangan seperti perjuanganku, tetapi perjuangan mempertaruhkan harga diri.Â
Mereka sangat mengharapkan belaskasihan dari orang lain dan itu tidak sulit untuk mereka ungkapkan. Mereka kesulitan mencari kerja di instansi-instansi tertentu. Hidup sehari-hari bertumpu pada bantuan orang lain dan hasil perkebunan. Meskipun perkebunan mereka untukku kurang serius digarap.
Aku tinggal bersama mereka dan mencoba melakukan apa yang sehari-hari mereka lakukan. Mencari buah pinang di belakang rumah induk semangku pun aku lakukan tanpa sepengetahuan mereka. Meskipun di sekitarnya terdapat banyak kuburan dan hewan-hewan hutan.
Menarik! Ya, sangat menarik hidup bersama mereka. Pengalaman ikut memperbaiki sumber air mereka, jujur sangat melelahkan karena setiap hari harus mendaki bukit sembari mengangkat bahan-bahan bangunan, menganimasi mereka tentang kebersihan lingkungan, mendengar cerita-cerita kehidupan mereka, dlsb.Â
Aku mendapati mereka taat pada iman mereka. Ketaatan itu tidak hanya tampak pada pelaksanaan ritus-ritus agama, melainkan tercurah pada perlakuan sehari-hari.
Benar ada anggapan bahwa keluarga ini "kaum terpinggirkan", "kaum marginal" dan bisa dikatakan "sangat jelata". Namun, dari kekurangan itu mereka masih bisa menyumbang banyak hal bagi kebaikan bangsa. Mereka terlibat aktif dalam pembahasan hidup berpolitik pun berbaur dengan pimpinan-pimpinan daerah setempat. Meskipun sebenarnya secara psikologis, mereka masih merasa dihindari banyak orang.Â
Menyadari dampak merusak dari penyakit ini di bidang sosial, ekonomi dan psikologis, maka pada bulan Desember 2010 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi tentang penghapusan diskriminasi terhadap "eks kusta" dan keluarga mereka.Â
Resolusi ini memuat prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman dan menegaskan kembali bahwa "eks kusta" dan anggota keluarga mereka harus diperlakukan sebagai individu yang bermartabat dan berhak atas semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional, konvensi yang relevan, konstitusi dan hukum nasional.
Yuk, bersama-sama menguatkan siapa saja. Dan itu banyak terjadi saat ini, lekas sehat dunia.
Dom Asteria
Sambil menunggu balasan chat dari seseorang, 17 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H