Mitos dan anggapan yang salah dari masyarakat tentang penyakit kusta memicu diskriminasi. Diskriminasi dapat membatasi kesempatan "orang yang pernah mengalami kusta" untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan menikah. Diskriminasi juga dapat membatasi mereka untuk memperoleh layanan publik sehingga mereka dan keluarganya terpinggirkan dari masyarakat.
Pengalaman pertama
Tulisan lengkap tentang pengalaman pertama bersama saudara pengidap kusta sebenarnya ada di buku harianku. Buku harian tersebut aku simpan rapih di rumah orang tua di Medan. Dulu masih sering nulis di buku harian, sekarang seringnya ghosting-in orang, bukan, bukan.
Waktu itu aku pergi ke salah satu kompleks yang didiami keluarga yang mengidap kusta, salah satu atau keduanya dari keluarga tersebut. Tepatnya di Gema Kasih, Galang-Lubuk Pakam, Sumatra Utara. Mereka dibina oleh para Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE).
Aku tinggal bersama seorang teman asal Sibolga di rumah keluarga yang masih merindukan kehadiran seorang anak, saat itu. Karena mereka memiliki piano, waktu itu kami setiap malam bermain piano, bernyanyi lagu-lagu hits pada zamannya. Kalau tidak salah, waktu itu kami masih menonton final Liga Europa antara Benfica vs Chelsea, yang akhirnya dimenangkan Chelsea.
Selama dua minggu kami bekerja di pertukangan milik para Suster, termasuk induk semangku. Jujur, keahlian mereka dalam membuat mebel sangat patut dibanggakan. Keringat yang membasahi wajah dan pakaian mereka mengajarkanku tentang pentingnya berjuang, meski pekerjaan kita terkesan menyulitkan.
Sorenya aku dan keluarga tersebut bekerja di kebun belakang rumah mereka, waktu itu menanam singkong, kunyit dan jahe. Tanahnya kuning, air kurang (kebetulan kemarau saat itu).
Kami juga memasak bareng, mandi bergantian. Letak handuk berdekatan, bercerita tentang masa lalu masing-masing.
Tidak ada keengganan, tidak ada kecemasan, tidak ada pengalaman seperti yang diceritakan oleh banyak pihak ke aku. Hingga suatu hari pada kesempatan pengobatan berkala, secara langsung aku melihat saat luka mereka dibersihkan. Mungkin tak perlu aku ceritakan, tetapi pengalaman itu sangat menguatkan bahwa di saat diberi kesehatan seperti sekarang ini, harusnya berbuat lebih banyak dan produktif.
Perlu diketahui, sebelum aku tinggal bersama mereka, aku disuntik dan diberi pengertian oleh salah seorang dokter lulusan USU. Saat itu aku memang sedang proses pencarian jati diri. Hal-hal seperti ini cocok juga dijalani, apalagi di Ibukota saat ini, mungkin sesekali baik ke tempat yang menghadirkan kegembiraan meski dalam kesulitan, semisal panti rehabilitasi atau sejenisnya.
Ketika saatnya berpisah, kami berpelukan, tentu ada bulir-bulir air menetes pelan dari mata polos ini. Aku masih ingat wajah mereka, dan semoga masih dalam keadaan sehat.