Saat itu, dia sedang lapar dan dengan penuh upaya memanfaatkan congor dan kakinya mendapatkan buah anggur tersebut. Dia pun mencoba memanjat dan melompat secara berulang.Â
Apa daya sebiji anggur pun tak dapat digenggam.Â
Ini ibarat effort pria menebar jala untuk mendapatkan wanita, tapi tak satupun terjaring atau sebaliknya, sama saja. Tak ada ide cemerlang muncul, hingga si serigala pun kelelahan dan akhirnya rebahan (mungkin).
Dia kesal dan sanking kesalnya ia pun mengutuki dirinya.
 Ia meratapi betapa organnya tidak sesempurna jerapah sang empunya leher panjang atau burung yang punya sayap yang dengan mudahnya beterbangan ke sana kemari.Â
Si serigala pun berandai-andai, "seandainya aku punya leher yang panjang, tentu saja dengan gampangnya aku memetik anggur yang kuidamkan ini.Â
Atau jika saja aku seperti burung yang punya sayap dan mampu melawan gaya gravitasi segudang anggur bisa kuraih dengan segera".
Pendek cerita, si serigala menyimpulkan bahwa semua anggur itu rasanya masam.Â
Asumsinya ini sungguh menghibur dirinya, meski tak pernah dibuktikannya sama sekali.Â
Lucunya, kepada keturunannya ia mewariskan pepatah "tak semua yang membuatmu terlihat menyenangkan akan menggembirakan." Kebajikan mantap yang lahir dari asumsi yg keliru.Â
Dan penting diketahui, asumsi tak selalu menerbitkan kebajikan.