Oleh Kosmas Lawa Bagho
Pecinta SastraÂ
Pengantar Kritikus Sastra
"COGITO" MULTIPEL KOSMAS LAWA BAGHO
Oleh Narudin
Â
Dan ternyata kogito Kosmas pun terus gelisah hingga tiba pada puisi yang bertema Corona---tema panas saat ini, yang sudah sangat menjengkelkan, penuh permainan politis dengan kondisi miris, baik secara pribadi maupun secara umum.
Â
HUJAN SENJA HARI
Â
Senja itu makin pekat
Air mata langit
Terus menetesi dan menciumi bumi
Di senja yang makin kelam itu
Â
Hati ini gelisah tak mengerti
Jiwa ini pun letih tak habis pikir
Apa gerangan yang terjadi
Â
Jalan ramai kian sepi
Kendaraan seakan mati tak mau berlari
Ternyata peserta positif covid-19
Terus menari bertambah tak kendali
Â
Hujan senja itu  membawa kabar duka
Corona Wuhan telah menjadi bidadari dunia
Bukan untuk kebaikan melainkan bencana.
Â
Ende, 18 Mei 2020
Â
Bait akhir puisi di atas ini bernada menyindir secara halus hingga Kosmas menghadirkan kogito yang kreatif, membandingkan "Corona Wuhan" dengan "bidadari dunia".
Â
Hujan senja itu  membawa kabar duka
Corona Wuhan telah menjadi bidadari dunia
Bukan untuk kebaikan melainkan bencana.
Â
Dan akhirnya dalam puisi "Bocah (Perayaan Natal Kini)" kogito Kosmas tampak goyah, seperti menyebut "Anak Allah" dan menanyakan secara tegas "Di manakah Penebus kami lahir?". Kata-kata "Anak Allah" dan "Penebus" diacu ke dalam kata "lahir". Seperti sindiran yang bersifat krisis spiritual Kosmas dalam kogito atau pikirannya, yaitu bagaimana "Anak Allah" lahir dan "Apa Tuhan bisa lahir seperti umumnya manusia?", "Apa Tuhan itu bersifat seperti manusia yang berdaging dan bertulang dan butuh segala hal dengan segala kelemahan dan kekurangannya?", bagaimana dua pikiran Kosmas ini dapat ditertibkan dalam satu puisi ini seperti dua bait puisi di bawah ini:
Â
Bocah-bocah kecil berlilin di tangan
Menyusuri setiap lorong desa dan kota
Mencari tempat kelahiran Sahabat mereka
Sang Emmanuel  ... Anak Allah
Yang menyertai kehidupan manusia
Â
Mereka bertanya
Pada batang flamboyan yang retak-retak patah
Di manakah Penebus kami lahir ...???
Â
Ini mengingatkan kepada ucapan filsuf Nietzsche. Berikut kutipan dari Nietzsche. Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche dalam konsep "anti-Kristus", seperti dalam bukunya The Anti-Christ (1895).
Â
"Tuhan mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuh Tuhan. Bagaimana kita menghibur diri kita, pembunuh dari seluruh pembunuh? Apa yang paling suci dan paling berkuasa, dunia telah berdarah hingga ajalnya akibat pisau kita: siapa hendak menyeka darahnya, darah ini dari kita? Air apa yang ada untuk membersihkan diri kita? PESTA PENEBUSAN DOSA APA, permainan sakral apa yang harus kita adakan? Bukankah keagungan perbuatan ini terlampau agung bagi kita? Bukankah kita sendirilah  tuhan-tuhan itu agar tampak patut adanya?"
Â
Sebagai penutup, demikianlah kogito Kosmas yang bermacam-macam (multipel) ini dalam puisi-puisinya hingga taraf kogito yang kontradiktif secara spiritual. Maka, betul kata Descartes di awal kritik sastra (Kata Pengantar) ini, yaitu "Aku ragu, maka aku berpikir, maka aku ada." Proses ragu itu harus dimusnahkan agar yakin berpikir atau yakin ber-kogito!
Â
***
Dawpilar, 29 Juli 2021
___________
*) NARUDIN, sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra Indonesia.
FB: Narudin Pituin. WA: 081-320-157-589.
Tulisan ini pernah dimuat pada http://kosmaslawa.blogspot.com/2023/04/seri-3-menerbitkan-buku-fiksi.html#more
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H