Kepergian Jek sempat membuatku takut akan diusir dari terminal ini. Tapi Mak tetap bersikap biasa. Posisi Jek sebagai orang penting di terminal ini diambil alih beberapa kali oleh orang yang berbeda. Namun sampai sekarang tidak ada yang bertahan lebih lama dari dua bulan. Dan setiap pengganti Jek selalu menafkahiku setiap hari dengan jumlah uang persis seperti yang biasa Jek berikan. Awalnya aku menolak, tapi mereka memaksa. Mereka juga tanpa sungkan akan menggenggam tanganku di terminal. Beberapa bahkan tidur denganku di kontrakan Jek. Aku tidak menolak.
"Ini perintah bang Jek" kata mereka waktu kutanya kenapa.
"Kapan dia bilang?" aku tanya lagi. Tapi mereka cuma bisa diam.
Menjelang kelahiran anakku, Jek masih belum muncul juga. Suatu malam aku mimpi Jek pulang dan menggenggam tanganku, lalu mengecup perutku yang bunting. Besoknya, aku merasa perut dan tanganku hangat. Lalu kelahiranku terjadi siangnya, ketika aku sedang membantu Mak. Anakku seorang laki-laki. Sehat dan matanya bulat. Mak bilang wajahnya mirip Jek. Sejak itu Mak mulai lebih ramah padaku, begitu juga orang terminal lainnya.
Dan sampai di sini kisahku dengan Jek. Sampai hari ini Jek tidak pernah kembali lagi.
________________________
*Ini seperti "anak cerita" dari cerpen saya sebelumnya yang judulnya "Jek". Semoga terhibur :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H