Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[LombaPK] Dialog Si Difa dengan Sahabat Imajinernya

28 Mei 2016   23:09 Diperbarui: 28 Mei 2016   23:35 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Difa bukan lah murid yang populer di kelas. Sikapnya yang introvert dengan tubuh ringkihnya menyebabkan ia sering dibuly teman-temannya. Difa pun menjadi murid yang penyendiri.

Apabila jam istirahat tiba, Difa lebih memilih bermain di sudut sekolah bersama sahabat imajinernya. ‘Sahabat’ yang sering ia panggil dengan nama “Mas Aji”.

Seperti yang ia lakukan hari ini. Ketika bel istirahat berbunyi, Difa beranjak ke sudut pagar sekolah yang sepi dari hingar-bingar murid lainnya. Dan seperti biasa, ia menemui ‘sahabatnya’. ‘Sahabat’ yang selalu memahami tentang dirinya.

“Tadi Pak Guru menyuruh setiap murid menuliskan tentang cita-citanya, Mas. Difa gak tau harus nulis apa, karena Difa gak punya cita-cita. Difa takut, cita-cita hanya akan membebani hidup Difa dengan rasa takut gagal mencapainya. Bukankah rasa takut hanya membuat kita menjauhi kedamaian?” curhat Difa.   

‘Mas Aji’ yang selalu wise hanya tersenyum. Menepuk punggung Difa, seraya berkata: “Kita hidup di zamanmodern, Dif. Di satu sisi kita diharuskan menata masa depan. Kita takut masa depan akan kacau apabila kita tidak menatanya. Sementara, sisi lainnya, kita juga mempertakutkan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat di masa lalu. Karena hidup ternyata tak semudah yang kita bayangkan.”

Hening sejenak, karena Difa lama untuk mencerna kalimat ‘sahabatnya’ itu.

Mas Aji pun melanjutkan: “Rasa takut mengaburkan kejernihan berpikir. Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar. Banyak orang terjebak di dalam depresi, karena rasa takut yang berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba dan perilaku menyimpang lainnya, karena penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang yang menderita cenderung kejam, tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada orang lain.”

“Lantas, kenapa Mas Aji pergi dari sekolah Kompasiana ini? Apa yang Mas Aji takutkan?” Difa pun akhirnya berani mempertanyakan kepergian sahabat imajinernya itu.

Mas Aji hanya tertawa. “Dif, akar ketakutan manusia itu terletak pada kegagalannya memahami arti hidup sesungguhnya.Artinya, ketika orang gagal memahami kenyataan apa adanya, ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan perasaannya, yang seringkali jauh dari kebenaran. Saya gak pergi dari sekolah, Dif. Hanya mencoba mengheningkan kata..”

“Maksud Mas Aji?”

“Di sekolah Kompasiana, kita telah banyak membagikan banyak sekali kesaksian dengan Kata. Kesaksian yang tumbuh dari peristiwa sehari-hari dari dunia yang tumpang tindih. Kesaksian kita adalah cuplikan riwayat hidup jelata yang terseok, juga tentang kota yang tumbuh mengangkasa dengan keangkuhan konsumerisme yang ringkih tapi tetap meminggirkan mereka yang kurang beruntung. Juga tentang politik yang makin mirip perayaan "mentalitas pemandu sorak". Kau dan aku mencoba berdiri dalam rangkai peristiwanya, menyusun cerita yang selalu memaksa menunda lupa dan menentang kemungkinan diri menjadi bagian dari jenis yangngehe dan reaksioner.”

“Tapi, Mas, kembalilah ke sekolah, Please. Difa, Mbak Laura dan saudara-saudara Mas Aji lainnya di sekolah Kompasiana ingin agar Mas kembali, berbagi pengetahuan...”

Dengan anggun “Mas Aji” mengusap kepala Difa seraya berujar lembut. “Dif, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai jika kita berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara, kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong kosong.”

***

Sementara itu, dari ruang guru BP, Pak Guru Jati dan Pak Kepsek Emjeka menyaksikan perilaku Difa yang setiap hari berbicara seorang diri di sudut pagar sekolah itu.

“Kita harus menangani si Difa ini secara khusus nampaknya, Pak,”usul Pak Jati. “Kalau terus menerus bicara sendiri begini akan semakin akut sakit jiwanya.”

 “Iya, Pak Jati. Tapi Pak Jati kan tahu sendiri, anggaran di sekolah kita kan gak ada untuk itu. Selama dia gak mengganggu murid lainnya sebaiknya kita biarkan saja,” jawab Pak Emjeka.

“Bagaimana kalau kita masukan dia di sekolah khusus, Pak?”

“Di mana itu..?”

“Di sekolah Planet Kenthir, Pak. Saya dengar di sana banyak yang sembuh seperti sediakala...”

***

Tulisan ini saya persembahkan kepada guru saya: S Aji. Kembali lah, Mas.... Kami semua rindu Kata-mu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun